Saat  bulan  menuju  purnama
Kau sundul  dinding rahim sang bunda
Enam puluh almanak  jarak tempuh kau lewati
Ketika  aku  berlarian di kandil aras
Kau dan Aku  bersemedi di kelamnya alam
Menerawang masa, menunggu genapnya bulan
Mulut menganga mengharap  tetesan purnama meredup
Kaki nakalmu mengusik lelapnya sang bunda
Tlah Kau  kau lilit cita pada tali pusar  kasih tak putus
Kau dan Aku dua jiwa berbeda masa
Melepas dahaga pada satu telaga
Bedanya, kau diselingkuhi iblis
Kau mengulum butiran garam di laut dendam
Warna hitam putih beradu dalam tatapan
Kulihat lidah menjulur di matamu
Kau dan aku satu susuan berbeda rasa
Kilatan  petir menyambar  di dada mu
Alas tidur tlah  menguapkan  kebencian di wajahmu
Aku terhempas amukan kristal dendam dalam bayangmu
Bara sisa masa lalu dihembus angin malam
Hingga kau robek jubah suci pembungkus rasa
Kau dan aku satu  rumah  berbeda tingkap
Derasnya aliran darah kau sumbat dengan dendam
Aku mengulum rindu dalam kepiluan
Kobaran api kupadamkan dengan ludah di pangkal lidah
Ah kau.....!
Ternyata matahari slalu memangang jiwa
Tak penting kita satu rasa
Jika noda menutup jiwamu
Kau...
Kiblat tlah berganti haluan
Lhokseumawe,7 April  2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H