Kau pendobrak gerbang istana
Tali pusar melilit di jalanmu
Aku  merangkak di muka gerbang menyusur alur bulan  sabit
Dentingan  menit memutar arah
Kau tergesa-gesa menopang langit
Darah persalinan bunda masih menetes di mata kaki
Ari- ari mu belum habis disantap belatung,
Kau  sudah berlarian menjengkal bumi
Aku mengusung ragu di pundak
Barisan pulau menjalar di jidatku
Danau peluh mengapung di lesung pipi
Kenapa jasadmu tak membekas bayang
Kenapa kakimu tak mencium bumi
Atau mungkin,
Kau selingkuhan malaikat
Kau dan  Aku  berada dalam kereta panjang
Adakah Kau dengar jeritan  peron ,
Merangkak menuju napas  terakhir
Aku  telah kau campakkan dalam jarak tak berentang
Padahal setelah Kau dahaga dengan susu bunda,
Aku menyusul giliran
Kini, tlah kulepaskan pelukan harapan
Jemari tak lagi merangkul kepalan
Lengan kubiarkan sejajar bahu
Mataku tlah kuberi tirai
Sang pemburu nyawa merampas harapan pada jiwa yang angkuh
Aku tetap menanti di muka gerbang
Saat waktu mengundang  pulang
Antrean membuncit  mengapit masa
Penngait mu patah digilas peron
Lhokseumawe, April  2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H