Tubuh tegap, suara lantang
Empat ratus lebih sayap melekat di jasad
Ribuan tangan menggantung di lengan
Kepala melekat pada telapak kaki,punggung,dan  bahu
Raut  wajah menghentikan degupan jantung
Matanya tajam  menghela  jiwa berpamitan dengan tubuh
Tujuh puluh kali per hari, Dia bertandang di wajahmu  dalam geram dan garang
Dua puluh satu menit sewaktu Ia  mendonggak wajahnya di wajah mu
Lapisan angin dan iman membutakan.matamu
Mengapa Kau lalai kawan?
Sejak  Kau meraung-raung  menatap sadisnya dunia
Napak tilas sudah mulai Kau rintis
Waktu telah menyeretmu menuju hari tak bermalam
Catatan hidup kau lukis dengan tinta kesombongan
Tahukah kawan?
Sang pemikul jiwa berjutai di antara khatulistiwa
Menunggu tetesan warna dari daun kematian yang mengantung di kandil aras
Jalan pulang Kau telusur lewat warna  tumpah dalam cawan kematian
Berapa lama Kau bersenda dalam maya?
Sudah Kau sepakati ketika dalam sulbi
Bagaimana kau melayari bumi tak bersegi?
Telah Kau jawab lewat cara selingkuhi hidup
Mari kawan...!
Bercermin pada malam tak berbayang
Menyimak diri dikeramain  jiwa
Selami luasnya rongga dada membahana
Berteduhlah pada onggokan daging memerah
Rasakan getaran saluran pipa di nadimu
Lhokseumawe, Â Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H