Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Matahari Kembar dalam Cawan Duka

22 Desember 2023   21:27 Diperbarui: 22 Desember 2023   21:45 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay 

Setelah matahari kembar itu
bersatu dalam cawan politik,
Kulihat orang -orang berdiri di atas kepala
Resah - resah pemilik jiwa,
perlahan rebah dalam jurang kepentingan

Jiwa- jiwa yang dirampas malam itu,
penasaran mengusung berjuta tanya
Mengapa tulisan hidup berbeda lafaz?
Mengapa  lidah melaju ke lain arah?
Kenapa bendera putih harus menghapus cita?
Berkibar di pagi buta, hingga telanjang dada

Darah-darah mengalir menyusur kali
Kali dibendung warna umbul umbul
Beku mengental di atas aspal
Dieram matahari dan bulan bermalam hari
Dikikis telapak sedan berplat mewah

Setelah matahari kembar bersatu dalam rasa
Kasak- kusuk mundur sampai ke hulu
Dijemput ombak digulung pasang
Dikipas angin selatan menjadi kenangan semasa
Haluan kisah diputar mengarah ke selatan
Menyelingkuhi nafsu melilit usus

Setelah darah- darah itu kerontang
Jiwa- jiwa penasaran pulang menuju kandil
Wajah pucat menatap Tuhan dalam ragu
Dalam haru Dia bertanya
Dimana tempat ku Tuhan?
Bagaimana takdirku?


Sementara di sana
Bulan dan matahari saling tatap
Berangkulan melepas kemesraan
Mengusir dendam
Membuang sekat
Menghapus kotak- kotak
Bermuka satu berjasad dua

Setelah matahari kembar itu menyaru
Aku adalah jiwa yang tergoda rayuan
Kupikir ada surga gratis di sana
Ada keikhlasan demi cintaku pada-Mu

Baca juga: Aku dan Puisi

Tuhan...
Dimana takdir yang telah Kau tuliskan?
Biarkan darahku mengental dengan aspal ibukota
Karena di sana, nasibku menggantung
di tangan dewi keadilan

Lhokseumawe, Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun