Ketika bulan menuju sabit, Â kita bertemu dalam rasa
Kau duduk menyamping di bawah pohon pisang kesepian, Â dan bersandar pada angan
Wajah kita sama  warna,  karena  kosmetik tak terbeli
Ekonomi negeri terjepit oleh resesi, Â
uang rakyat dirampok dalam konspirasi
Ku Susun barisan sajak menawarkan kesah,
Wajahku tak rata, Â penuh kotak-kotak, Â
Rambut kering menguning keriting
Tulang pipi melambai dalam kukusan matahari
Kita hanya makan nasi  tak berlauk,  karena kita bebas berhalusinasi
Kau jumput nasi kering dari piring warna kusam,
Khayalan digiring ke menu restoran mewah
Karena dalam nyata hanya mengecap di udara
Waktu itu sosialita masih menggulita,
Adalah hidup seperti pohon di rimba raya
Berlomba memburu matahari kehidupan, Â
sehingga tubuh kita bagai toge di kegelapan
Tatapan kita kosong
Baju kita banyak bolongnya
Tak ada yang menyokong
Angin negeri sedang tak berhaluan
Negara seperti dalam pewayangan
Mengayuh hidup diantara badai dan hujan
Hujan air mata  muntah di antara kelopak
Orang kampung diserang kecemasan
Serdadu memanggul laras panjang
Diam membeku di bahu
Ketika marah meletup -letup, Â
satu kampung dicumbu kematian
Kehidupan tergantung pada nyanyian pelatuk
Burung burung kondor terbang di pulau seberang
Mematuk bangkai negeri di hamparan derita
Kita hanya bisa bertatap kapan kita disasar
Untung harapan membelam rasa
Pertahanan semakin kuat, Â
Bagai perahu digilir gelombang pulang ke pantai
Lhokseumawe, Â 25 November 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H