Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bagaimana Sih Puisi Sebenarnya?

1 November 2023   14:05 Diperbarui: 1 November 2023   14:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 
 Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd

Mencermati bentuk, gaya, bahasa, dan jenis puisi yang berkembang di media sosial, penulis semakin tertarik untuk mengulas fenomena tersebut. Sebagaimana sudah dipahamkan secara umum bahwa di media sosial begitu banyak puisi lahir dan berkembang sesuai dengan karakter para penyair. Tidak hanya itu, mereka juga bergabung di berbagai komunitas sastra dan group -grop puisi dengan lebel bernuansa sastra.

Setiap komunitas dan grup tersebut tentunya dibentuk atas dasar kesamaan persepsi, memiliki hobi menulis, dan berada pada genre puisi yang serumpun. 

Para penyair media sosial hampir saban hari menelurkan puisi. Mereka tak peduli apakah itu termasuk puisi atau bukan, yang penting baginya adalah apa postingan saya hari ini dalam bentuk puisi?  Kalau setuju dengan penulis, seharusnya bukan jumlah postingan yang dipikirkan, akan tetapi kualitas dari postingan yang perlu jadi perhatian.

Dari amatan penulis dalam satu hari saja penulis mendapatkan tag sampai lima kali dari penyair yang sama. Bagi penulis ..is oke- oke saja, bukan sesuatu hal yang memberatkan. Walaupun kadang- kadang ketika penulis mencari postingan sendiri sudah jauh di palung- palung beranda tertimbun postingan kawan.

Perdebatan heboh yang mengemuka di sini adalah  berkisar pada bentuk, gaya, dan bahasa yang digunakan. Memang berbicara puisi hari ini adalah tidak lepas dari ketiga hal di atas. Komentar per komentar terus saja memadati setiap postingan. Pertama biasa saja, lama kelamaan    menjadi kebutuhan para pemilik postingan.

Kritik tajam dan lembut juga bergelut hebat berbalut baju kesantunan berbahasa yang menikam dengan ujung jari. Setiap group ada saja perdebatan tentang puisi yang diposkan baik dari segi typo, bentuk, diksi, maupun gaya yang digunakan. Kritikan selalu ditimbun dalam hal belajar dan belajar yang membuat para pemosting tidak merasa menjadi terhukum.

Uniknya hampir setiap komentar maupun kritikan selalu mengacu pada konsep keilmuan yang bersifat subjektif.  

Amatan penulis, banyak dari kritikus dan komentar menginginkan cara dan aturan menulis puisi mengikuti gaya dia. Dengan kata lain, jika ada puisi yang diposting, tidak sesuai dengan karakternya langsung dinasihati dengan bahasa  yang santun agar mengekor di belakangnya.

Ada sebuah pernyataan menarik yang sering penulis lontarkan pada wadah wadah diskusi sesama penyair amatiran, "Puisi itu laksana batu  akik di aliran sungai" Maksudnya, setiap batu akik yang dijadikan batu cincin diproses oleh alam yang begitu lama dan rumit, hingga menghasilkan bentuk-bentuk yang unik. 

Setiap keunikan hanyalah khas yang tak dimiliki oleh batu lainya. Jadi di dunia ini satu batu cincin yang indah berarti itulah satu satunya didunia. Karena bentuk, corak dan motif memiliki perbedaan yang signifikan. Nama boleh saja sama, tetapi nuasa warna dan seni tentu berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun