Mohon tunggu...
teguh mediross
teguh mediross Mohon Tunggu... -

https://twitter.com/teguhagus

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sedikit Ide BPJS Kecil-kecilan ala Dompet Dhuafa

25 Februari 2013   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:43 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Konstitusi tertinggi bangsa Indonesia yakni UUD 1945 secara gamblang menyatakan bahwa “…setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang layak dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan …”. Dan disebutkan pula bahwa dalam rangkamenopang hak tersebut “…negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”.

Dua amanah konsitusi tersebut memberikan kepastian pijakan untuk dua sistem besar dalam bidang kesehatan, yakni pelayanan dan pembiayaan (jaminan sosial). Ceritera yang dicita-citakan Deklarasi Alma Ata World Health Organization (WHO): HealthFor All in 2000 ternyata dianggap gagal, karena kesalahan dalam pendekatan pelayanan, pun pendekatan pembiayaan dalam hal ini biaya berobat gratis.

Berdasarkan WHO-WONCA working paper (November 1994; Ontario, Canada) dengan judul “Making medical practice and education relevant to people’s needs: the contribution of family doctor”, seharusnya dilakukan perubahan orientasi pelayanan. Dari pelayanan “komunitas konvensional”, dalam hal ini contohnya puskesmas atau medical center lainnya, ke pelayanan praktik kesehatan keluarga atau pendekatan pra-upaya kesehatan. Pendekatan pra-upaya lebih cenderungmenitikberatkan manajemen “care” daripada “cure”.

Seperti yang kita semua pahami bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan hanya akan tercapai manakala penduduk sadar, mau dan mampu untuk hidup sehat. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, tentunya melalui proses yang memungkinkan mereka dapat hidup dalam budaya sehat, baik adat sehat, tradisi sehat maupun kebiasaan sehat, serta dalam lingkungan yang juga sama-sama sehat, dan satu lagi yag penting penduduk pun memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu.

Berdasarkan World Bank: Investing in Indonesia’s Health, Health Expenditure Review, 2008, tertulis… “Indonesia has made major improvements over the three decades in its health system, but is struggling to achieve important health outcomes, especially among the poor” dan “….the performance of the current health system is inadequate for achieving today’s and future health outcomes…”

Dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang sempat masuk dalam kontroversi Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa setiap individu akan dijamin pembiayaannya untuk memelihara kesehatan. Dengan sistem asuransi kesehatan (sosial), yang berbasis pendekatan pra-upaya inilah, kesehatan individu akan selalu dijaga agar tetap sehat dan diobati manakala sakit. Pendekatan ini sekaligus memfasilitasi terjadinya proses intervensi tindakan prevensi dan penyehatan lingkungan individual. Di US, konsep ini dinamakan MANAGE CARE.

Manage care concept is a variety of techniques for influencing the clinical behavior of health care provider and/or patients, often by integrating the payment and delivery health care. Jadi biaya berobat gratis bukanlah manajemen “care” yang baik seperti layaknya program raskin atau program pemadam kebakaran. Begitu pula program asuransi-asuransi atau PJPK yang sekarang marak digalakkan. Apabila keinginan mengasuransikan seluruh rakyat dilakukan tanpa pendekatan manage care concept, “bom waktu” kegagalan pembiayaan kesehatanhanya menunggu waktunya saja untuk “meledak”.

Manage care concept ideal haruslah menggunakan pendekatan paradigma sehat terutama di lini terdepan layanan kesehatan. Paradigma sehat berarti menjaga rakyat sehat agar tetap sehat. Namun tetap, kita tidak boleh melupakan pengobatan bagi yang sakit atau namanya ”paradigm sakit”.

Jangan sampai rakyat yangpunya kebiasaan merokok, tetap merokok semaunya, dan juga jangan sampai terjadi jawaban ”...toh kalau sakit akibat merokoknya nanti akan diobati gratis….tis”.

Inilah sasaran untuk mewujudkan mimpi Indonesia Sehat itu,Sistim Kesehatan Personal Terstruktur (SKPT). Pembenahan sistem harus dilakukan mulai dari unit pelayanan kesehatan personal di Puskesmas untuk pemerintahdan Medical Center untuk swasta. Swasta perlu mendapat perhatian, karena sebenarnya mereka-lah lini terdepan upaya kesehatan selama ini.

Hitungan konkrit untuk pelaksanaan SKPT adalah diperbanyaknya dokter keluarga, “dokter umum” yang ditraining khusus bersamatimnya (perawat keluarga, bidan keluarga, pengobat tradisional keluarga dll. Mereka dipermudah tidak hanya dalam urusan perizinan, namun juga permodalan dan pelatihan.

Satu dokter keluarga akan menjadi “penjaga kesehatan” untuk 2.500 penduduk. Dia dan timnya akan bekerja jauh di depan sebelum penduduknya jatuh sakit, melalui berbagai kegiatan pra-upaya, seperti melakukan medical check up rutin, melakukan edukasi individual, dan secara periodik melakukan kunjungan ke rumah.

Apabila SKPT sudah berjalan baik,kasus-kasus spesialistik dapat terdeteksi sejak dini. Mestinya, jumlah penduduk yang dirujuk setiap bulannya ke rumah sakit atau pelayanan spesialistik tidak lebih dari 8% (dari rata-rata 2.500 penduduk yang sakit dalam satu bulan. Dan bisa mengontrol angka kesakitan yang normalnya sekitar 10%. Artinya dalam satu bulan “hanya” 250 orang saja yang sakit dari 2.500 penduduk yang dijaga kesehatannya.

Jadi dari 250 penduduk yang sakit, mestinya yang dirujuk ke rumah sakit tidak boleh lebih dari 8%, yaitu sekitar 20 orang sakit saja. Inilah hebatnya SKPT. Bila penduduk Jakarta sekitar 10 juta jiwa, maka yang berobat ke RS sebulannya hanya 80 ribu pasien. Bila dibagi per rumah sakit jadi sekitar 350 pasien perbulan untuk rumah sakit di Jakarta yang berjumlah sekitar 200-an rumah sakit.

Betapa efektifnya sebuah institusi RS, yang melayani 14 pasien perharinya. Mereka sangat bertanggung jawab terhadap keselamtan pasiennya. Dan untuk penduduk yang tidak sakit, bisa memanfaatkan rumah sakit menjadi rumah sehat, tempat untuk melakukan adat sehat, tradisi sehat dan kebiasaan sehat. Sehingga capaian penduduk yang sadar, mau dan mampu untuk hidup sehat berhasilmelalui “pintu masuk” pra-upaya kesehatan keluarga.

Untuk Dompet Dhuafa dengan Rumah Sehat Terpadu-nya, langkah pertama adalah merekrut dokter keluarga dengan menempatkan atau memanfaatkan dokter umum di sekitar lingkungan Rumah Sehat Terpadu (RST) atau di dalam RST itu sendiri. Bila target adalah Desa Jampang, Kecamatan Kemang dengan jumlah penduduk 2000 jiwa maka cukup dibutuhkan 1 dokter atau perawat atau bidan keluarga yang berputar, 1 dokter di rawat jalan (sebagai penjaga gawang rumah sakit) dan sarana prasarana pendukung, seperti kendaraan dan alat yang bisa mobile.

Jadi nantinya, sangat sedikit pasien yang berada di rawat jalan, yakni sehari 10 orang ke dokter umum dan Cuma 1 orang ke dokter spesialis. Pemanfaatan dana Zakat, Infaq maupun Shodaqoh (ZIS) ditambah CSR bisa lebih banyak kearah pra-upaya, seperti Pemeriksaan Kesehatan Berkala untuk seluruh penduduk Jampang (MCU Lengkap), bisa dilakukan onsite maupun di RST.

Bila ternyata tidak sakit, masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas wakaf di RST untuk melakukan kebiasaan sehat, seperti olahraga, mengunjungi teater zikr, dan memanfaatkan produk herbal RST. Nah permasalahannya kapan mereka bisa mandiri sebagai penduduk yang sadar, mau dan mampu sebagaimana yang dicita-citakan Indonesia Sehat.

Inilah gunanya dana ZIS. Penduduk Desa Jampang yang termasuk Keluarga Miskin (Gakin) harus mengikuti sejenis asuransi yang dikelola oleh RST, dalam hal ini sebuah lembaga mirip BPJS Kesehatan Keluarga sebagai badan pelaksana di bawah RST. Asuransi RST bisa diikuti secara sukarela oleh seluruh masyarakat Desa Jampang, namun diharapkan seluruhnya ikut. Karena yang mengikuti akan berhak mendapatkan fasilitas wakaf RST. Bila warga Jampang yang kaya sakit, dia bisa berobat dan dirawat di RST, sesuai dengan fasilitas RST sebagai rumah sakit tanpa kelas, semua sama tidak ada perbedaan derajat.

Adapun premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi, adalah pembayaran premi terjangkau sesuai kondisi biaya asuransi sekarang. Yang kaya, premi dibayar oleh mereka sendiri baik individu atau atas nama perusahaan atau jamkesmas, sedangkan yang miskin dibayarkan oleh Dompet Dhuafa. Uang yang masuk merupakan Dana Operasional RST yang dikelola secara professional oleh BPJS tersebut.

Fasilitas tanpa kelas dari Asuransi RST ini, bisa diperoleh hanya di RST Parung, yakni untuk pasien berupa:

1.Pelayanan Gawat Darurat

2.Pelayanan Kesehatan Keluarga

3.Pelayanan Rujukan Penyakit Dalam

4.Pelayanan Rujukan Bedah dan Operasi

5.Pelayanan Rujukan Kebidanan dan Kandungan

6.Pelayanan Rujukan Kesehatan Anak

7.Pelayanan Penunjang Medik

8.Pelayanan Rawat Inap

9.Pelayanan Perawatan Intensif, dan

10.Pelayanan Pengobatan Tradisional dan Alternatif

Sedangakan yang tidak sakit,masyarakat Jampang bisa menggunakan:

1.Fasilitas Olahraga

2.Fasilitas Akupuntur

3.Fasilitas Bekam dan lain-lain.

Terakhir, penulis mengucapkan selamat untuk Askes yang telah menjadi BPJS Besar-besaran. Besar harapan untuk menatap Visi Indonesia Sehat yang tadinya harus tercapai pada 2010, sekarang harus mundur menjadi Indonesia Sehat 2015, sesuai MDG's.

Kenapa harus menyesuaikan dengan MDG's, bukannya kita negara besar yang bisa menentukan Visi dan Misi tersendiri? Bukan begitu Pak Fachmi Idris, Sang Dirut BPJS!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun