11 November 2012, tepat satu tahun pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on the Rights Persons with Disabilities atau Konvensi Hak-hak Difabel (-Penyandang Cacat?). namun, bagaimanakah perkembangan difabel itu sendiri? bagaimana hidup mereka? Saya bertanya pada Anda? Silahkan jawab, tapi ada pertanyaan mengganjal pada diri saya, apakah Anda tahu difabel itu sendiri, le
ngkap dengan aksesorisnya?
Jika berbicara tentang difabel, barangkali kita tak dapat menemukannya di antara deret bangku starbucks, di café-café, bahkan di pojok-pojok gedung abdi negara –yang sejatinya milik rakyat, termasuk difabel itu sendiri. Jikapun ada, jumlahnya tak seberapa dan tidak sedikit yang menatapnya iba. Entah bentuk peng-iba-aan dalam perspektif belas kasihan, sebagai kaum yang lemah yang layak dikasihani. Atau mungkin, yang ada dalam laci pikiran mereka adalah sinisme. Dan kita tak pernah tahu atau memang tak mau tahu, stigma menganggap difabel sebagai kaum yang lemah inilah yang melahirkan sinisme, menjadikan difabel sebagai obyek rehabiltasi. Bahkan tidak sedikit yang menganggap difabel sebagai sumber masalah social. Alhasil, difabel pun berada pada posisinya yang marginal, disejajarkan dengan pelaku kriminal, koruptor, penderita HIV/AIDS, bahkan pelacur sekalipun.
Saya bertanya pada Anda, terutama yang –katanya- normal, bagaimana jika Anda berada di posisi mereka, difabel? Cobalah Anda pejamkan sepasang mata Anda selama minimal 15 detik, fokuskan pada imajinasi Anda sebagai seorang difabel; yang ditolak kerja karena Anda “cacat”, yang ditolak masuk sekolah dan universitas karena Anda tidak memenuhi kriteria sehat jasmani dan rohani, yang tidak dapat menaiki tangga gedung bertingkat karena sepasang kaki Anda lumpuh, atau mungkin Anda sedang dicemooh dan dianggap sebagai orang gila dan layak masuk Rumah Sakit Jiwa. Silahkan renungkan, bangun pondasi dari batu-bata dan segunduk material jiwa kemanusiaan Anda! Hanya 15 detik, ya hanya lima belas detik saja, tak lebih! Namun, jika Anda mau –dan berani- lakukan sepanjang sisa hidup Anda dihitung dari pergerakan detik dimana Anda selesai membaca tulisan ini! Apa yang Anda rasa?
Sinisme, rehabilitasi, atau masalah sosial layakkah disematkan kepada difabel? Apakah difabel memang benar-benar lemah dan tak berdaya? Apakah benar, jika seorang tuna daksa, tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, dan lain-lain masuk panti rehabilitasi akan kembali menjadi “manusia normal” versi konsensus masyarakat? Lebih berpijak pada consensus masyarakat atau Hukum Tuhan yang menyatakan manusia itu pada dasarnya sama saja?
Apakah benar, jika seorang tuna daksa di masukan ke panti rehabilitasi untuk dididik menjadi tukang jahit akan lebih menjamin kehidupannya dibandingkan dia diberi kesempatan untuk sekolah dan kuliah untuk memberi perubahan akan hidup dan kehidupannya? Apakah seorang tuna netra yang masuk panti rehabilitasi akan lebih “terhormat” sebagai seorang tukang pijat dibandingkan ia menjadi seorang ilmuwan? Apakah benar difabel itu sejajar dengan pelaku kriminal, koruptor, penderita HIV/AIDS, bahkan pelacur: sebagai sumber masalah social? Apakah benar, seorang difabel bukanlah bagian dari masyarakat sehingga mereka layak untuk dijauhi, dimasukkan ke lingkungannya sendiri yang terpisah? Di pisahkan dari anak yang normal di SLB-SLB? Dan bla bla bla….
Anda sendirilah yang akan menjawabnya, sebagai seorang manusia, sama seperti mereka; difabel. Terkadang manusia lalai akan jiwa humanisme yang melekat padanya, namun saya yakin bahwa Anda tetaplah seorng manusia. Betapapun bebal dan menjengkelkan, Anda masih diberi hati dan pikiran untuk merasa, berfikir, dan bertindak, selayaknya manusia-manusia lain. Yang kadangkala tidak Anda miliki hanyalah merasa, berfikir, dan bertindak dalam tataran kebijaksanaan. Dan kebajikan.
Dalam suatu obrolan dengan jurnalis dan aktifisi difabel, hal yang setidaknya perlu kita catat “Di negara ini banyak orang cuma basa-basi, tapi kita nggak boleh sibuk menyalahkan orang. Ya, kita semua harus memanfaatkan semua langkah untuk perjuangan hak difabel/disabilitas yang masih termarginalkan. Lakukan apa yang bisa dilakukan. Jangan selalu sibuk mempersoalkan orang”
Ya, memang kita tak sepantasnya menyalahkan orang lain, sebab kesalahan itu barangkali juga mengendap dalam diri kita; sebab kita adalah manusia yang tak pernah sempurn. Atas dasar itulah berdiri Forum Mahasiswa Difabel dan Partner (FMDP) UGM, April 2012. Organisasi berbasis komunitas ini digagas dan diketuai Mukhanif Yasin Yusuf, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia FIB UGM angkatan 2011, yang juga satu-satunya penyandang tuna rungu di UGM. organisasi ini beranggotakan beberapa mahasiswa UGM yang difabel dan non-difabel sebagai relawan, dengan pembina dari beberapa dosen Fakultas Kedokteran dan Fakultas PSikologi UGM.
Kami (FMDP UGM) berencana mengadakan seminar Nasional dengan tema “ Menggugat Peran Mahsiswa dalam Isu Pendidikan Difabel” pada 29 Desember 2012 mendatang, bertepatan dengan Hari DIfabel se-Dunia, bertempat di Auditorium Gedung Ismangoen, Fakultas Kedokteran UGM. FMDP UGM sengaja memilih tema tersebut mengingat mahasiswa memiliki peran setrategis dalam berbagai aspek. Mahasiswa adalah inventasi jangka panjang bagi bangsa. Dengan adanya keterlibatan mahasiswa dalam isu difabel, diharapkan dapat menciptakan kondisi yang maju akan pemenuhan hak-hak difabel yang terabaikan.
Adapun pembicara dan topik yang kami sajikan, insya Allah antara lain:
1.Drs Haryadi Suyuti, Wali Kota Yogyakarta*, Peraih Inclusive Education Awards dari Kemendiknas, dengan topic “Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif bagi difabel dan tantangan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa”
2.Drs. Setyo Adi Nugroho, M.Si, aktifis difabel dari internal difabeldengan topic “Difabel dimata Konstitusi dan Konstituen”
3.Slamet Tohari, S.Fil, M.Soc*, Penyandang Tuna Daksa, alumni Filsafat UGM dan University of Hawaii, Dosen Universitas Barawijaya, dan Pendiri Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) Universitas Barawijaya, dengan topik “Fenomena mahasiswa difabel di UGM; Benarkah Diterima?”
4.Mukhanif Yasin Yusuf, Penyandang Tuna Rungu, Mahasiswa Semester ketiga Sastra Indonesia UGM, Co-Founding dan Ketua FMDP, dengan topic “Jalan berliku menuju eksistensi diri”