Reportase, oleh: Mukhammad Fahmi *)
Komunitas Pena Malang—atau yang kerap disebut sebagai KOMA Malang—ini berdiri bertepatan pada hari Jum'at, 14 Februari 2014. KOMA Malang dengan roda motonya, "qulil haq walau kana murron, khoirun nas anfa'uhum lin nas" mampu mengantarkan para penggiatnya menuju sebuah proses untuk tidak pernah berhenti berkarya. Sampai saat ini, KOMA Malang memiliki jumlah anggota berkisar 35 orang, mengingat usia mudanya yang baru menginjak tahun ketiga. Anggota KOMA Malang tersebut memiliki latar belakang, jurusan, dan kampus yang berbeda-beda. Betapa pun berangkat dari beragam bidang, tapi kesemuanya memiliki kesamaan prinsip, yaitu ingin belajar bersama untuk bisa menulis dan berkarya.
KOMA Malang ini sebenarnya lahir dari percikan KOMA Pusat, yaitu KOMA Jombang. Komunitas KOMA yang berhulu dari kota Jombang meluas di berbagai titik di seluruh Nusantara, di antaranya yaitu: Koma Yogyakarta, Koma Sumatera, Koma Malang, Koma Surabaya, Koma Sulawesi, Koma Kupang, Koma Papua, Koma Mojowarno, Koma Kudu, dan Koma Mojokerto. Meluasnya Komunitas KOMA tersebut sesungguhnya berdiri atas gagasan dan musyawarah dari para alumni KOMA Jombang yang ada di seluruh Nusantara. Sehingga KOMA Malang pun berdiri atas dasar inisiatif para alumni KOMA Jombang yang sedang menempuh pendidikan di Malang. KOMA memiliki falsafah tersendiri, yaitu sebuah rumah berkarya dan belajar bersama yang diikhtiyarkan oleh para penghuninya sebagai suatu proses yang tak pernah berhenti sebelum sampai pada suatu titik akhir dari segala pencarian dan pengembaraan; kebenaran.
Sabtu, 26 November 2016 menjadi hari yang paling spesial dan mengesankan bagi para anggota KOMA Malang. Di hari itu, KOMA Malang mengadakan acara diklat kepenulisan yang bisa dibilang sangat berbeda dengan diklat kepenulisan yang lainnya. Pada umumnya, diklat adalah suatu acara yang memaksa pesertanya untuk duduk di kursi dalam sebuah ruangan tertutup dari awal acara sampai selesai untuk sekadar mendengarkan ceramah dari pemateri. Sungguh berbeda dengan diklat kepenulisan yang diadakan oleh KOMA Malang. Diklat kepenulisan ini diadakan di ruang yang berbeda-beda, bersifat diskusi santai, berdialog dengan pemateri, dan tidak terlalu serius, karena di dalam kegiatan tersebut dibarengi dengan touring ke berbagai titik tempat kunjungan di Malang, menggunakan mobil dan beberapa sepeda motor. Acara Medayo Sastra dan Study Tour ini merupakan acara gathering kedua bagi KOMA Malang setelah gathering perdananya di Bumi Perkemahan Coban Rondo Malang. Acara ini ini diikuti oleh 20 anggota KOMA Malang.
Acara dimulai dengan berkumpulnya para anggota pada pukul 7.00 WIB di belakang gerbang UIN Maliki Malang. Setelah semua anggota berkumpul, mereka meluncur ke tempat tujuan yang pertama, yaitu Pondok Pesantren Darun Nun, yang bertempat di perumahan Bukit Cemara Tidar, Karangbesuki, Sukun, Malang. Mengapa tempat ini menjadi salah satu bagian dari Medayo Sastra dan Study TourKOMA Malang? Sebab di dalam pesantren tersebut para santri tidak hanya diajari tentang agama, tapi juga di dalamnya terdapat aktivitas tulis-menulis karya. Pesantren Darun Nun dengan moto berkarya dan berbahasa ini diasuh oleh Ustadz Dr. H. Halimi, M. Pd., M.A, atau yang kerap disapa dengan Ustadz Halimi Zuhdy. Proses kreativitas itu terbukti dari terbitnya buku Antologi Puisi "99 Cinta Darun Nun" pada tahun 2015 yang bekerja sama dengan penerbit Lentera Kreasindo Yogyakarta. Usaha Ustadz Halimi Zuhdy dalam mendirikan pesantren berkarya dan berbahasa ini patut menjadi percontohan bagi pesantren lain di seluruh Nusantara, sebab pesantren sesungguhnya bukan hanya sebagai tempat belajar mengaji, tapi juga sebagai ruang berkarya dan berdiskusi bersama. Di dalam pesantren tersebut, para anggota KOMA Malang berdiskusi dan bertanya-jawab kepada Ustadz Halimi Zuhdy mengenai banyak hal yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Di samping menjadi pengasuh di pesantren Darun Nun dan dosen di UIN Maliki Malang, beliau juga merupakan penulis yang hebat, terbukti dengan berbagai antologi puisi yang telah diterbitkan, di antaranya yaitu: "Menjaring Cakrawala" (Bandung, 2010), "Tuhan pun berdzikir" (Malang, 2011), "Negeri Tikus", "Zam-Zam Cinta", dan beberapa buku lainnya, seperti: "Al-Bi'ah al-Lughowiyah, Takwinuha wa Dauruha Fiktisab al-Arabiyah" (UIN Maliki Press, 2010), "Pintar Berbicara Bahasa Arab" (2009), "Masa Kecil yang Tak Terlupa" (2011), dan beberapa buku lainnya.
Study Tour di Pesantren Darun Nun
Study Tour di Pesantren Darun Nun
Study Tour di Pesantren Darun Nun
Diskusi bersama Ustadz Halimi Zuhdy
Foto bersama Ustadz Halimi Zuhdy
Foto bersama Ustadz Halimi Zuhdy
Foto bersama Ustadz Halimi Zuhdy
Di dalam diskusi, beliau memaparkan bahwa, "untuk bisa menulis, seseorang harus mendapatkan ide. Ide sebenarnya bisa didapatkan di mana-mana, dari segala peristiwa yang ada di muka bumi, sesepele apa pun peristiwa, ia akan tetap menjadi istimewa bagi para pencari ide. Ide diperoleh dari membaca segala sesuatu. Mencari definisi apa saja yang melekat dalam sebuah kata, misalnya kata "matahari": ia merupakan bola api yang sangat besar, paling besar di tata surya, tapi ia tidak menggunakan api tersebut untuk membakar, melainkan untuk menghangatkan dan memberi kehidupan bagi seluruh penduduk di muka bumi. Seseorang zaman sekarang sebenarnya banyak dihinggapi rasa malas di dalam dirinya, padahal telah tersaji di hadapannya buku, pena, komputer/laptop, android, dan lain sebagainya untuk menulis. Bayangkan pada masa dahulu, bagaimana mushaf al-Qur'an bisa disusun sedemikian rupa, yang dikumpulkan dari tulisan yang ditulis di kayu-kayu atau di tulang-tulang. Bayangkan bagaimana imam al-Ghozali dan para ulama' lain dalam menghasilkan berbagai kitab, padahal pada zaman itu masih belum tersedia komputer. Apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita di zaman sekarang ini? Sehingga tidak ada alasan untuk tidak menulis. Maka kiat-kiat menulis itu ada tiga, yaitu: menulis, menulis, dan menulis. Tidak ada yang lain, selain ketiga aspek itu. Karena sesungguhnya manusia sejak dilahirkan telah banyak memperhatikan gerak alam dan membaca segala sesuatu, tinggal ia mau menulis atau tidak. Memaknai segala peristiwa yang terjadi di muka bumi, seperti: "semangka kalau sudah dikupas, maka ia tidak akan bertahan lama di ruang terbuka atau di kulkas sekalipun, tapi jika belum dikupas, maka semangka akan sangat lama membusuk, dengan demikian, kulit semangka itu lebih canggih dari kulkas sekalipun," atau "jikalau engkau ingin mengetahui keganasan singa, lepaskanlah dari pengikat dan kurungan, jika engkau ingin menjadi "singa" yang tangguh, maka merantaulah untuk mencari ilmu." Sehingga ilmu yang tinggi akan mengantarkan seseorang pada ruang hikmah. Hidup itu ibarat naik perahu di tengah lautan. Maka seseorang harus benari berlayar untuk sampai ke tujuan sekalipun terombang-ambing oleh badai dan ombak yang dahsyat. Maka
sastra pada akhirnya akan mengantarkan seseorang pada filsafat. Hidup adalah filsafat itu sendiri," begitu papar Ustadz Halimi Zuhdy di dalam diskusi yang berlangsung satu setengah jam.
Pemberian lukisan kepada Ust. Halimi Zuhdy
Pemberian karya santri Darun Nun kepada KOMA Malang
Setelah puas berbincang-bincang dengan Ustadz Halimi Zuhdy, para anggota KOMA Malang meneruskan langkah perjalanannya menuju tempat yang kedua, yaitu Kafe Pustaka, samping Perpustakaan UM. Di sana para anggota KOMA Malang berdiskusi dengan Mas Denny Mizhar dan Mas David selaku penggiat Pelangi Sastra Malang. Pelangi Sastra Malang ini berdiri pada tahun 2010 yang dimotori oleh penyair Ragil "Sukriwul" Supriyanto bersama penyair Denny Mizhar. Pelangi Sastra mendapat dukungan dari guru besar sastra UM, yaitu Prof. Djoko Saryono, serta penyair dan sastrawan yang ada di Kota Malang, seperti Nanang Suryadi, Yusri Fajar, serta penulis-penulis lain yang ada di Kota Malang. Tempat Kafe Pustaka UM ini memang dirancang untuk kalangan umum yang ingin
ngopi, membaca buku, atau sekadar berdiskusi santai. Kafe Pustaka ini menjadi ruang bagi Pelangi Sastra untuk berkarya dan berdiskusi bersama. Pelangi Sastra memiliki agenda yang yang sangat menarik, di antaranya: bedah buku, membaca puisi, berdiskusi, teater, membuat klub menulis, dan lain sebagainya.
Diskusi bersama penggiat Pelangi Sastra
Foto bersama Pelangi Sastra Malang
Foto bersama Pelangi Sastra Malang
Mas Denny Mizhar menjelaskan banyak hal tentang dunia kepenulisan, tentang cara membaca puisi, tentang cara mengungkapkan sebuah rasa di dalam bentuk tulisan, dan lain sebagainya. "Menulis merupakan kegiatan pribadi. Maka kita harus benar-benar mengerti, apa-apa yang kita tulis, sedang dalam wilayah mana kita menulis, dalam suasananya bagaimana, jangan asal menuliskan kata-kata yang terlihat "
nyastra" tapi kita sendiri tidak mengerti maknanya. Sehingga esensi pesan dan kesan dari tulisan itu benar-benar ada," begitu ungkap Mas Denny di dalam diskusi yang berdurasi sekitar satu jam.
Pemberian Penghargaan Kepada Mas Denny Miohar
Lucu-lucu du Kafe Pustaka UM Malang
Adzan masjid UM terdengar lamat-lamat. Para anggota KOMA Malang pun mengakhiri diskusi dan segera menuju masjid untuk melaksanakan sholat Dhuhur. Setelah Sholat, para anggota KOMA Malang istirahat dan makan bersama di sekitar masjid UM. Setelah dirasa cukup, para anggota KOMA Malang melanjutkan perjalanannya menuju kantor Jawa Pos Radar Malang. Radar Malang merupakan salah satu grup Radar terbesar di Jawa Pos. Berdiri sejak 15 Desember 1999 menjadi suplemen di Jawa Pos. Di sana, para anggota KOMA Malang berdiskusi dengan Pak Kholid Amrullah, S.S selaku wartawan radar Malang. Di samping menjadi wartawan, beliau telah membuat dua buah novel yang luar biasa, yaitu: "Berita dari Kurawan" (Novel
Jurnalistik) dan "Bersujud di Kaki-Mu" (Novel Religius).
Diskusi bersama Pak Kholid Amrulloh (wartawan Radar Malang)
Diskusi bersama Pak Kholid Amrulloh (wartawan Radar Malang)
Diskusi bersama Pak Kholid Amrulloh (wartawan Radar Malang)
Di sana para anggota KOMA Malang banyak belajar kepada beliau. Bahkan, di radar Malang menjadi tempat yang paling lama dikunjungi dari tempat-tempat yang lainnya, yaitu berkisar hampir 2 jam. Di dalam diskusi Pak Kholid Amrullah mengatakan bahwa, "Penulis yang baik adalah juga pembaca yang baik. Maka jangan membaca buku-buku yang berkualitas tidak baik, pilihlah buku yang berbahasa bagus dan tinggi, karena itu pula, kelak akan memengaruhi tulisanmu. Jadikanlah setiap jengkal peristiwa sebagai bahan untuk menulis, sekalipun itu sebuah ejekan. Karena menulis itu sesungguhnya adalah obat, tempat menampung segala resah dari jiwa manusia. Tidak ada yang bisa mengatur penulis. Penulis adalah manusia yang merdeka, sekalipun ia dipenjara. Katakanlah Hamka, Pramodya, Zawawi Imron, Taufik Isma'il, dan lain sebagainya. Mereka semua pernah dipenjara, tapi hati dan jiwa mereka tak akan pernah bisa dipenjara. Di dalam penjara mereka akan tetap menulis, karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menulis. Sehingga orang tak berani lama-lama memenjara Dahlan Iskan, karena tulisannya menakuti banyak pihak. Tulisan yang bagus adalah tulisan yang mengajak pembaca berdialog, mengajak berpikir, merenung, memaparkan, mengajak bahagia/bersedih, penulis tidak terlihat bodoh tapi juga tidak terkesan menggurui, memiliki karakter yang kuat, punya unsur menghibur, tidak
garing, dan mengalir. Maka penulis hanya membutuhkan tiga aspek dalam menulis, yaitu: otak, tangan, dan hati. Penulis yang baik adalah penulis yang mampu mengendalikan amarahnya, sehingga ia menulis dalam keadaan
mood yang baik. Sehingga menulis merupakan sebuah seni. Itulah sebabnya, wartawan berbeda dengan penulis. Wartawan adalah pekerja, sekalipun ia dalam keadaan
mood yang tidak baik, ia harus tetap menulis. Banyak penulis yang berangkat dari wartawan, di antaranya adalah Seno Gumira Aji Dharma, Bambang Joko Susilo, dan masih banyak lagi," begitu papar Pak Kholid Amrullah di hadapan para anggota KOMA Malang.
Pemberian penghargaan kepada Radar Malang
Melihat pekerjaan karyawan Radar Malang
Melihat pekerjaan karyawan Radar Malang
Melihat pekerjaan karyawan Radar Malang
Melihat pekerjaan karyawan Radar Malang
Melihat pekerjaan karyawan Radar Malang
Melihat pekerjaan karyawan Radar Malang
Foto bersama Pak Kholid Amrullah
Foto bersama di depan Radar Malang
Setelah berbincang-bincang dengan Pak Kholid Amrullah dengan durasi yang cukup lama, para anggota KOMA Malang dipersilakan untuk melihat pekerjaan para karyawan Radar Malang yang berada di lantai atas. Di lantai atas anggota KOMA Malang berjumpa dengan para karyawan Radar Malang. Ada bertugas sebagai layout, fotografer, copy editor, wartawan, redaktur foto, redaktur pelaksana, koordinator halaman, koordinator liputan, pimpinan redaksi, koordinator even, manager keuangan, manager iklan, manager pemasaran, direktur, dan lain sebagainya. Begitu para anggota KOMA Malang puas terhadap apa yang dilihat, mereka segera menuju Masjid Agung Malang untuk menunaikan shalat Asar. Setelah itu, mereka menuju Malang Post. Di sana, para anggota KOMA Malang berdiskusi dengan Mbak Dewi, S. Psi sebagai wartawan Malang Post. Malang Post berdiri satu tahun sebelum berdirinya Radar Malang, yaitu pada tanggal 1 Agustus 1998. Malang Post merupakan "anak" dari Jawa Pos, sehingga ia merupakan koran lokal dan hanya didistribusikan di Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang.
Lihat Sosbud Selengkapnya