[caption caption="Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menerima pengaduan warga yang langsung datang ke Balai Kota Jakarta"][/caption]Rapat pimpinan, Senin (28/3/2016), bisa jadi seperti ”tsunami” bagi Ratna Diah, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Sang gubernur, Basuki Tjahaja Purnama, murka dengan membuka rekaman suara tentang pungutan liar di tempat pemakaman umum (TPU).
Hadir sejumlah kepala dinas di ruang rapat Kompleks Balai Kota Jakarta itu. Barangkali malu, atau marah, Ratna bergegas pergi. Sejumlah wartawan berusaha menghadang untuk wawancara, tetapi dia menghindar, melipir di antara pejabat-pejabat lain yang dikerumuni wartawan.
Siang itu belum banyak yang tahu Pak Ahok membuka ”barang bukti” rekaman. Sebab, rapat tertutup, hanya peserta yang tahu. Namun, cerita gubernur memperdengarkan rekaman segera tersebar. Dua hari kemudian, video rekaman rapat itu diunggah ke Facebook.
”Kenapa ada pungli (pungutan liar) di TPU? Sebab ada Kepala TPU yang pungli, paham nggak inspektorat? Bukan karena di lapangan ada begini-begini, kalau kepalanya lurus, bawahnya enggak berani nggak lurus! Paham nggak itu teorinya?” begitu kalimatnya dengan nada tinggi.
Dia lalu mengeluarkan ponsel, mencari rekaman suara tentang transaksi pungli di TPU Petamburan, lalu menyetelnya di dekat mikropon. Dalam percakapan di rekaman itu, terdengar besaran uang yang diminta sang petugas. ”Dia (Kepala TPU) ngomong, terserah Anda mau kasih berapa, asal bisa buat cicilan mobil tiga bulan sama angsuran BTN (rumah) dua bulan. Gila nggak!” kata Ahok pada doorstop Senin siang itu.
Laporan, keluhan, juga kritik media soal keberadaan pungli TPU sudah berulang. Ahok pun merasa capai menerima laporan, menyindir di rapat, juga menegur langsung ke pejabat kepala dinas. Namun, penanganannya tak memuaskan. Alasannya, pungli melibatkan calo, bukan petugas dinas. Kadang beralasan sudah menegur, mencopot, dan memindahkan oknum petugas.
Akan tetapi, nyatanya pungli masih terjadi. Seolah tak ingin dikibuli lagi, Ahok membuka rekaman suara itu sebagai bukti. Dia minta dinas dan badan kepegawaian mengecek lagi dan memecat pejabat pelaku pungli.
Benar saja, dua hari sejak rapat itu, 16 pejabat eselon III dan IV di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dicopot jabatannya. Separuh di antaranya berasal dari dinas pertamanan dan pemakaman. Mereka antara lain didemosi karena memungut uang dari warga pengguna layanan TPU.
Biaya resmi layanan pemakaman di TPU milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya berkisar Rp 40.000-Rp 100.000. Khusus untuk warga tidak mampu atau berpenghasilan rendah, Pemprov DKI bahkan menggratiskannya. Sebab ada alokasi sekitar 5 persen lahan di setiap TPU untuk warga miskin. Selain lahan makam, pemerintah menyediakan fasilitas gratis seperti tenda, kursi, dan pengeras suara untuk prosesi pemakaman.
Jika dulu juru gali lubang leluasa memungut uang dari keluarga jenazah, mereka kini digaji dan tak boleh lagi meminta uang. Mereka adalah pekerja harian lepas dengan honor minimal sebesar upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta, tahun 2016 Rp 3,1 juta per bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H