[caption caption="Gerbang Tol Palimanan"][/caption]
Cita-cita membangun tol Trans-Jawa kini barangkali sebangun dengan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dulu. Di awal tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels mengidamkan ”trans-Jawa” penghubung kota-kota utama. Belakangan, jalan bikinan Daendels yang membentang 1.100 kilometer dari Anyer di ujung barat dan Panarukan di ujung timur itu, menjadi urat nadi ekonomi.
Awalnya, Jalan Raya Pos memang dibangun untuk kepentingan pertahanan, yakni mengantisipasi kemungkinan serangan Inggris. Namun, dampak ekonomi langsung terasa karena arus sumber daya jadi lebih deras dengan adanya jalur transportasi yang baik. Konon, setelah Jalan Raya Pos selesai, waktu tempuh dari Batavia ke Surabaya berkurang dari satu bulan pada musim kemarau menjadi 3-4 hari saja.
Pada pertengahan tahun 2008, saya berkesempatan mengikuti ekspedisi Anjer-Panaroekan Harian Kompas. Ketika itu, Jalan Raya Pos tengah ”berulang tahun” yang ke-200. Tim menyusuri kota-kota di sepanjang jalur, merekam denyut, dan melihat perubahan dari masa ke masa.
Sebenarnya, saat itu pula rencana membangun tol trans-Jawa terdengar, bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah berulang menyampaikannya, antara lain pembangunan ruas tol Cikopo-Palimanan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, Batang-Semarang, Semarang-Solo, Solo-Ngawi, dan Ngawi-Kertosono. Namun, apa yang terjadi sungguh jauh dari target. Tenggat waktu terus molor. Mayoritas karena alasan pembebasan lahan.
Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) memang lebih maju dibandingkan ruas lain. Saat kabar tentang ruas lain belum terdengar, pembangunan Tol Cipali telah lebih dulu berembus, bahkan sebagian lahan telah bebas. Pada Kamis, 18 Mei 2006, Gubernur Jawa Barat ketika itu, yakni Danny Setiawan, memulai sosialisasi pembebasan lahan dan pembangunan Tol Cipali di Purwakarta, Jawa Barat.
Sejak sosialisasi itu, berita tentang pembangunan Tol Cipali timbul-tenggelam. Sesekali muncul saat ada perkembangan soal pengadaan tanah atau saat ada penolakan dari pemilik lahan soal harga penawaran atau pro-kontra tentang rencana pembangunan tol itu sendiri. Setelah itu redup dan hilang dari pemberitaan.
Warga di sekitar jalur tol bersukacita. Harga tanah beranjak naik. Beberapa kebun rambutan, sawah, atau pekarangan rumah diincar pembeli. Tengok saja lahan perkebunan dan persawahan di daerah Pabuaran, Cipeundeuy, dan Kalijati di Kabupaten Subang yang sejak itu berubah jadi pabrik. Kawasan industri segera terisi. Perumahan tumbuh subur.
Hingga tahun 2009, jalan tol yang didengungkan tak kunjung terbangun. Tak ada penanda fisik kecuali cerita tentang pembebasan lahan yang tak kelar-kelar. Baru pada kurun 2011-2012, satu dua jembatan dibangun dan lahan-lahan dikosongkan, seperti di daerah Bungursari, Campaka, dan Cibatu di Kabupaten Purwakarta yang sebagian di antaranya adalah perkebunan karet milik PT Perkebunan Nusantara VIII.
Terwujud
Enam tahun meliput di Wilayah IV Jawa Barat, yakni mencakup Kabupaten Purwakarta, Subang, dan Karawang, saya meyakini tol bakal terbangun. Namun, soal kapan selesai, saya selalu kasih imbuhan ”entah kapan” pada setiap jawaban. Fisik tol belum utuh terlihat saat saya pindah tugas ke Jakarta pada Oktober 2012.