Mohon tunggu...
Mujibur Rohman
Mujibur Rohman Mohon Tunggu... -

Mujibur Rohman, bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rumah Balai Desa

10 Agustus 2010   01:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:10 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Fragmen Satu

Aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas dua. Aku tinggal dengan adik bapakku. Diasuh oleh beliau dan istrinya. Paman seorang kepala desa. Kami bertiga, aku, paman, serta bibiku tinggal di balai desa. Sebab mereka belum punya rumah sendiri, jadilah balai desa menjadi tempat tinggal kami. Balai desa itu mempunyai dua ruangan. Ruangan depan untuk kantor, ruangan belakang biasanya dipakai untuk pertemuan. Ruang pertemuan itulah yang kami tempati. Berdesakan-desakan dengan meja, tumpukan kursi, barang-barang milik PKK, sepetak dapur tanpa sekat, dan sebuah kamar yang terletak di pojok kiri depan.

Kamar itu berisi sebuah dipan, satu meja, dan lemari. Pakaian kotor kadang menggantung dan menumpuk di situ. Pakaian yang belum sempat disetrika menumpuk di dipan. Sepatu dan sandal berjajar di salah satu sudutnya. Yang masih dipakai atau yang sudah tak terpakai. Di lemari tersimpan pakaian dan ijazah serta surat-surat berharga. Tak ada kasur di atas dipan itu, hanya sebuah tikar plastik.

Aku tak pernah tidur di kamar. Hanya bibiku yang sesekali tidur di sana. Ukuran kamar yang hanya dua setengah kali tiga meter, terlalu sempit untuk kami bertiga. Ditambah barang-barang yang ada di dalamnya. Lagi pula dipan itu hanya untuk ukuran satu orang. Biasanya kami tidur di lantai. Menggelar tikar. Bibiku memakai selimut putih bergaris-garis hitam seperti yang kulihat di rumah sakit. Pamanku memakai sarung yang dililitkan sepinggang persis seperti orang mau shalat. Dan aku, meringkuk dengan sarung kecilku.

Begitu tiap harinya. Aku tidak tahu apakah ada cara hidup yang lebih baik, cara tidur yang lebih baik. Aku ikut paman sejak belum bisa mandi sendiri, makan masih disuapi, lalu didandani dengan seragam sekolah. Waktu aku masih belum masuk sekolah dasar aku sudah di sana. Aku tidak tahu alasan ikut keluarga pamanku. Juga proses pindah ke rumah paman. Aku sudah lupa semuanya. Aku tahu alasannya, kelak, paman dan bibi tidak punya anak sehingga aku dianggap sebagai anaknya. Alasan yang lain, dulu Bapak membantu nenek, ketika kakek sudah meninggal, mencari biaya kuliah untuk paman. Dan sebagai balas budinya, ia akan membiayai sekolahku hingga tamat kuliah.

Rumah balai desa itu—sebutlah begitu—belum ada sumur. Bahkan, di dusun kami hanya satu dua keluarga yang memiliki sumur. Sedalam lebih dari dua puluh meter tanpa pompa air. Untuk mengambil air dari sumur itu, kami mesti menggunakan katrol dengan tali dari karet sejenis ban. Kami menyebutnya kerekan. Air untuk memasak diambil dari sendang di dusun sebelah barat tempat tinggal kami dengan derigen. Kami mandi dan mencuci di sebuah sendang tak jauh dari rumah balai desa. Sendang itu berada tak jauh di sebelah utara perumahan warga. Di sebuah lembah, di samping sungai kecil.

Aku lebih mengenal paman dan bibi sebagai orangtua daripada orangtua asliku. Mereka yang merawat, mencukupi kebutuhanku, dan menasihati serta memarahiku untuk hal-hal yang tak kupahami apa maksudnya. Meskipun ikatan itu sebenarnya tak pernah utuh, bahkan ketika kelak aku tumbuh dewasa dan mulai memberontak pada ketidaksepahaman pikiran dengan pamanku.

Kadang aku juga takut dengan mereka. Mereka galak. Pamanku bisa saja menyiramku dengan air sambil membentak-bentak kalau aku susah bangun pagi. Tak jarang menjewer kupingku atau menarik rambut pelipisku hingga terasa panas dan pedih kalau aku salah dalam membaca Al-Qur’an. Bibi juga tak jarang memarahiku kalau makananku tidak habis, padahal dia yang mengambilkan. Selepas maghrib, saat paman sedang mengajar ngaji untuk anak-anak sebayaku. Ia akan duduk di depanku yang sedang mengeja bacaan Al-Qur’an sambil memegang sisir. Bila aku salah mengeja sudah dipastikan sisir itu mendarat di kepalaku.

Meski kadang banyak persoalan yang tak kupahami dengan kehidupan mereka sebagai orang dewasa. Aku bahagia dengan mereka. Aku senang ketika mereka mengatakan diriku sebagai anaknya ketika seseorang bertanya. Tentu saja yang bukan penduduk desa kami atau yang belum tahu perihal hubungan kami. Aku merasa bahwa aku juga mempunyai orangtua.

Paman dan bibiku sering mengajak menonton film di bioskop, di kota Salatiga. Jalan-jalan ke kota, membeli bakso, kemudian menonton film adalah hadiah yang aku terima kalau aku dapat ranking satu di kelas. Aku selalu menerima hadiah itu pada setiap liburan catur wulan sejak kelas satu. Bukan itu saja, hari Minggu atau hari lain yang tidak sibuk menjadi hari menyenangkan sebab acara menonton film. Bibiku yang memberi ide. Ia akan menyuruhku menemui paman yang sedang mengerjakan sesuatu di kantor, ruangan depan. Dan aku akan berkata seperti ini, “Pak Bi, nggo nonton.” (Pak Bi, mari nonton). Kadang ia menjawab iya. Kadang menjawab besok atau minggu depan. Aku kecewa kalau mendengar jawaban yang terakhir ini.

Aku sudah pernah menonton di semua gedung bioskop di Salatiga. Mulai dari Salatiga Theatre, Madya Theatre, sampai Reksa Theatre. Aku senang ketika mengantri di loket dengan pamanku, lalu aku dibelikannya permen atau teh kotak. Tiap melewati penjaga pintu masuk pasti petugas jaga akan menyapa, “Nonton, Pak Lurah?” “Iya.” jawab paman. Banyak film yang telah aku tonton. Film itu bahasanya aneh dan asing kecuali yang film berbahasa Indonesia. Untung aku sudah bisa membaca sedikit-sedikit terjemahannya. Walaupun ketika tulisan itu hilang lalu berganti baru belum selesai kubaca.

****

Aku bangun jam lima lebih sedikit. Mengambil air wudhu lalu shalat subuh. Setelah itu menyapu lantai, mencuci piring, dan ke sendang untuk mandi. Aku berangkat sekolah sebagaimana biasa, lalu pulang dan bermain bersama teman-temanku. Menjelang sore baru aku pulang ke rumah. Sewaktu aku hendak mandi dan mencari pakaian ganti. Kudapati kaca lemari di kamar pecah. Tinggal separuh bagian atas dan bagian bawah. Aku tidak tahu mengapa. Aku menduga ada benda keras membentur. Barangkali juga dipukul pamanku karena kesal dengan sesuatu. Atau marah dan bertengkar dengan istrinya. Aku tahu, kalau ia terlanjur marah tak ada yang bisa mencegahnya untuk melakukan apa saja. Tak kuturutkan penasaranku berlanjut. Aku melanjutkan mencari pakaian ganti lalu berangkat mandi.

Esoknya, aku sudah lupa peristiwa pecahnya kaca lemari kemarin. Tepatnya aku tak ingin memikirkan itu. Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Menjalankan tugas seperti biasa. Hingga tiba suatu hari, entah karena apa pamanku marah-marah padaku. Kemarahannya kali ini lebih besar dari yang sebelum-sebelumnya. Aku memang sering dimarahi bila melakukan kesalahan. Tapi lain hari ini. Seingatku hari ini aku tidak membuat kesalahan. Aku mengerjakan tugas-tugasku. Aku juga mengerjakan PR-ku. Aku tidak melakukan kesalahan!

Aku menatap lantai. Tertunduk pasrah. Aku ingin menangis di hadapannya, tapi aku takut ia tambah marah. Aku menahan tangisku di tenggorokan. Tetap saja aku terisak-isak. Tenggorokanku seperti tercekik. Aku tak bisa membendung air mataku agar tidak keluar. Paman mengeluarkan beberapa pakaianku dari lemari dan melemparkan padaku. “Pulang sana ke rumah Ibumu!” ia membentak. Suaranya begitu keras di telingaku. Aku membuntal beberapa lembar pakaian itu dengan sarung yang sudah keriting ujungnya sambil menangis sesenggukan. Tenggorokanku bertambah sakit.

Rumah orangtuaku berjarak hampir satu kilometer. Melewati sawah, lapangan, kuburan, sawah lagi, dan menyeberangi sungai. Aku menangis sepanjang jalan sambil memanggul buntalan pakaianku. Sungguh aku sangat sedih. Aku sakit hati. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku. Seorang anak diusir tanpa tahu banyak masalah sesungguhnya. Aku seperti bocah yang tolol.

Tangisku reda ketika aku sampai di rumah. Kebetulan Bapak dan Ibu di rumah, nenekku juga berada di sana. “Kenapa kamu?” Aku ditanya salah satu dari mereka. Aku tak memperhatikan. Aku diam saja. Kuletakkan buntalan pakaianku di meja lalu duduk tertunduk. Aku takut menjelaskan kepada mereka mengapa pulang dengan membawa buntalan berisi pakaian. Mereka pun diam beberapa jenak. Ibu mengambil buntalan itu membereskannya. Aku mereka suruh makan.

Aku di rumah orangtuaku selama beberapa hari. Rasanya senang bersama orangtua sendiri. Ada perasaan lain. Bahagia yang lain yang aku tak tahu dari mana datangnya. Beberapa hari setelahnya orangtua mengirimku ke rumah nenek. Ia adalah kakak ibuku. Kebetulan di sana kakekku kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Dan nenek mengajar taman kanak-kanak.

Berbekal buku dan pakaian yang hanya beberapa itu aku tinggal di rumah nenek. Melanjutkan sekolah pada tingkat yang sama seperti sewaktu aku di rumah. Pelajaran pertamaku di kelas itu adalah matematika. Pak Guru memberi pelajaran tentang bangun persegi. Ada segi tiga, segi empat, bujur sangkar, trapesium, dan lain-lain. Ia berdiri di depan kelas. Di depan para murid yang tak kukenal satu pun. Sambil memegang papan yang dipaku berbaris-baris. Ia mengaitkan karet gelang pada batang-batang paku tersebut. Satu-per satu para murid diminta maju untuk membuat bentuk bangun persegi dari karet itu. Dalam hati aku berdoa agar tidak disuruh maju. Aku belum terbiasa di kelas ini.

Hampir satu minggu aku belajar di kelas itu sebelum akhirnya diajak pulang lagi oleh bapakku. Aku sedih. Kata Bapakku paman menyuruhku pulang ke rumahnya. Ke rumah balai desa itu lagi. Mungkin marahnya surut. Paman kalau marah memang tak peduli apa pun, namun ia tidak pendendam. Begitulah sifat paman sebagaimana yang banyak orang katakan, terutama keluargaku. Aku takut kembali ke rumah itu. Namun, aku tak punya kekuatan untuk menolak.

Kini aku telah benar-benar berada di rumah balai desa lagi. Meneruskan kembali sekolahku di kelas dua sekolah dasar yang beberapa hari lalu kutinggalkan, dan menjalani hari-hariku seperti biasa.

Jogja, 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun