1—
Rambutnya kini sudah beruban. Wajahnya juga tidak sesegar dan secantik beberapa tahun yang lalu sebagaimana yang pernah kulihat di foto ijasahnya. Kecantikan perempuan itu kikis oleh usia dan beban yang tidak bertambah ringan. Mungkin juga ia semakin letih. Atau mencemaskan banyak hal. Hari-harinya yang semakin tua, masa depan anak-anaknya, dan juga (mungkin) kebahagiaannya sendiri.
Suatu hari, dulu, sekira pertengahan 2005, ia pernah bilang ingin berhenti mengajar. “Aku capek, aku ingin cari uang,” katanya. Aku berpikir ia sedang jenuh dengan kegiatannya mengajar. Atau barangkali Ibu betul-betul sudah tak tahan dengan kondisinya. Keinginan yang wajar dan tidak muluk-muluk. Ingin memperbaiki rumah, ingin menyekolahkan anak-anaknya, dan ingin mencukupi kebutuhan rumah tangga lainnya. Pernah beberapa kali, di sela-sela obrolan kami, perempuan itu menyinggung soal kapan bisa memperbaiki rumah.
Apa hendak dikata, suaminya hanya petani kelas gurem yang hanya mewarisi beberapa petak sawah. Itu pun bertambah tahun semakin sempit. Semakin tinggi pendidikan anak-anaknya, semakin berkurang luas tanah warisan orang tuanya. Karena tanah pertanian itu kami disebut petani. Tanah adalah harapan. Tapi, apa hendak dikata, hasil pertanian kadang tak cukup untuk biaya pendidikan. Apa lagi yang hendak dijual kalau bukan tanah warisan itu?
Seolah ingin membuktikan ucapannya, akhir tahun 2005, ia pergi ke Semarang. Aku tidak tahu mengetahui persis kepergiannya. Melalui adik sulungnya, ia mendapatkan pekerjaan di kota itu. Entah kerja apa aku kurang begitu jelas. Kabarnya menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang kyai yang sekaligus tabib. Perihal tersebut aku ketahui dari suaminya ketika suatu hari aku pulang dan tak mendapatinya di rumah.
Aku kecewa mengapa ia tak juga mengurungkan niatnya. Perempuan itu memang pernah mengungkapkan niatnya kepadaku berhenti mengajar. Katanya ia ingin bekerja membantu suaminya. Ia mau kerja apa saja di kota atau di luar negeri. Aku marah mendengar apa yang ia katakan. ”Ibu kalau mau berjuang, ya, berjuang saja. Tidak usah mikir yang macem-macem!” Kataku. Ia diam. Menunduk. Aku jadi tidak tega melihatnya. Dalam hati aku menyesal mengatakan hal itu.
Toh, kemauannya tak bisa dicegah. Ia berangkat juga mencari pekerjaan beberapa minggu setelah obrolan kami. Waktu itu aku sudah kembali ke Salatiga. Perempuan itu suami dan anak sulungnya masih kecil. Meninggalkan riuh-rendah anak-anak yang diajarnya. Sekolah tutup sebab ia satu-satunya guru di sekolah itu. Ruang kelas kosong, sepi. Hanya meja dan kursi yang tertata rapi. Tidak ada lagi suara perempuan setengah baya yang berteriak dari dalam ruang kelas, ”Anak-anak, hayo jangan ke jalan raya!”
Untung saja kondisi itu hanya berlangsung tidak lebih dari satu bulan. Kepala desa yang sekaligus penanggungjawab sekolah itu menyuruhnya pulang. Dan akhirnya ia kembali mengajar.
2—
Perempuan itu bernama Sumiyati. Murid-muridnya memanggil Bu Sum. Ia terlahir dari keluarga petani kelas gurem. Setahuku, bapaknya tak pernah mengenyam pendidikan, mungkin hanya sampai sekolah rakyat. Ibunya pun sama, tak pernah sekolah. Beruntung Bu Sum masih mendapat kesempatan bersekolah. Ia menyelesaikan pendidikan Madrasah Muallimin, sekolah setingkat SMP meskipun ia harus rela jalan kaki berkilo-kilo jaraknya.
Bu Sum mengajar di TK Al-Bidayah di sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Semarang. Taman Kanak-kanak itu terletak satu kilometer dari tempat dusun tempat tinggalnya. Setiap pagi, ketika orang-orang dusun berangkat ke sawah, Bu Sum sudah berdandan rapi. Kemudian berangkat mengajar. Ia menempuh perjalanan itu selama lebih dari setengah jam. Berjalan kaki, menyeberangi sungai dan naik bukit menuju untuk sampai di tempatnya mengajar. Begitu pula ketika siang matahari panas membakar, Bu Sum pulang mengajar. Berjalan enuruni bukit, melewati beberapa petak sawah, dan menyeberangi sungai. Kalau sungai yang biasa ia sebrangi banjir kala musin hujan sekolah akan diliburkan.
Aku akan selalu terkenang dengan peristiwa beberapa tahun lalu, ketika aku berangkat sekolah dasar dan melewati TK itu. Setiap kali Bu Sum tampak di kejauhan anak-anak akan berlarian menyambutnya.
”Bu Sum, rawuh! Bu Sum, rawuh!”
Anak-anak akan mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Melagukannya seperti paduan suara. Beberapa di antara mereka melonjak-lonjak girang. Anak-anak itu saling berebut menyalami gurunya, lalu mengaraknya menuju kelas.
TK Al-Bidayah adalah rintisan perjuangan Bu Sum bagi pendidikan. Ia sendiri yang mendirikan sekolah itu. Kebetulan yang menjadi kepala desa waktu itu adalah adik iparnya sendiri. Ini menjadikan niatnya untuk mendirikan sekolah taman kanak-kanak menjadi lebih mudah. Waktu itu aku masih duduk di sekolah dasar. Tahun-tahun awal berdirinya sekolah itu adalah masa-masa paling sulit bagi Bu Sum. Gedung sekolah masih menumpang di ruang pertemuan balai desa. Belum ada fasilitas yang memadai, apalagi alat peraga dan alat permainan.