“Apa hubungannnya memaafkan dengan kue-kue dan baju baru?” Begitu kira-kira Pramoedya menulis dengan nada sinis dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II. Pernyataan tersebut memang sengit, kritis, sekaligus menggelitik. Terlepas dari kenyataan bahwa Pram tak memiliki uang untuk mencukupi kebutuhan saat lebaran tiba. Namun ada hal yang menarik yang merangsang tumbuhnya pertanyaan, adakah Tuhan menuntut kita “berpesta” sebagai ekspresi kemenangan atas bulan ramadan. Nyatanya, toh lebaran, bagi sebagian besar masyarakat, terasa lebih meriah dengan riuh konsumsi. Harga kebutuhan pokok melambung seiring naiknya permintaan. Ramadan yang disusul Idul Fitri bukan sekedar serangkaian ibadah yang di dalamnya penuh dengan nilai-nilai religius. Namun, juga ajang untuk memamerkan dan promosi produk konsumsi. Ramadan dan Idul Fitri bukan hanya disambut oleh masjid dengan berbagai rangkaian ibadah, namun pasar juga sibuk memersiapkan diri. Berbagai diskon dan potongan harga digelar demi menarik minat konsumen. Mulai dari busana muslim sebagai simbol religiusitas, sampai sembako untuk kebutuhan sehari-hari. Timbullah kesan, tak lengkap rasanya kalau lebaran tidak memakai baju muslim baru. Atau kurang afdol rasanya kalau menu makanan yang disajikan saat lebaran sama dengan hari-hari bukan lebaran. Seolah Idul Fitri benar-benar pesta kemenangan setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga. Ataukah lebih sebagai ajang balas dendam karena di bulan sebelumnya hampir segala sesuatu dilarang? Meskipun dengan kondisi yang sedikit dipaksakan, masyarakat dari segala lapisan tak mau ketinggalan. Termasuk mereka dari kelompok masyarakat miskin. Mereka rela hutang kesana-kemari untuk memenuhi kebutuhan lebaran. Dengan mengikuti apa yang terjadi di masyarakat umum, orang akan merasa mereka adalah bagian dari masyarakat tersebut. Kemudian keinginan untuk sama dengan orang lain sebagai simbol identitas, seperti kue lebaran, baju muslim baru, atau parcel ini direspon oleh pasar dan produsen. Direkayasa melalui iklan dan brand image suatu produk. Rekayasa tersebut selanjutnya secara tak sadar masuk di alam kognisi masyarakat. Bentuk kesadaran ini kemudian menjadi tradisi, dan berlaku di hampir seluruh pelosok masyarakat. Coba kita telisik, hampir semua orang akan mengiyakan bahwa lebaran dekat dengan kue, parcel, baju baru dan simbol fisik lain. Tradisi baju baru dan kue yang berkelindan dengan tradisi silaturahmi dalam lebaran, yang merupakan usaha menjalin (kembali) relasi sosial justru bias menjadi ajang “unjuk gigi”. “Ini lho saya dengan baju dari mall anu.” Ajang pameran simbol status sosial. Pasar yang masuk dalam wilayah religius dan tradisi tersebut justru menciptakan diferensiasi sosial dan mereduksi nilai religiusitas itu sendiri. Jadilah Idul Fitri bukan hanya perayaan ibadah, namun juga perayaan pasar dan konsumsi.* gambar dari: iphoneall.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H