Mohon tunggu...
Mujib Ridwan
Mujib Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa untuk memenuhi tugas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perdebatan Masa Jabatan Kepala Desa

4 April 2023   18:51 Diperbarui: 4 April 2023   18:57 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pekan lalu publik ramai bahwa Para Kepala Desa melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR RI. Mereka mendesak DPR melakukan revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Tepatnya, mereka menuntut masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun.

Seharusnya, kita juga tau bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Dalam Undang-Undang itu pula, masa jabatan Kepala Desa diatur, yaitu selama 6 tahun dan dapat menjabat dua kali masa jabatan lagi jika terpilih kembali. Yang lebih tepatnya diatur pada Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 39 ayat (2). Pasal 39 ayat (1) UU Desa menyatakan "Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan". Sementara Pasal 39 ayat (2) UU Desa menyatakan "Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut".

Dapat kita ketahui bersama bahwa jabatan itu adalah amanah. Dan, meminta jabatan diperpanjang itu tidak baik. Apalagi jabatan politik. Dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 disebutkan: Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dari sini dapat dipahami bahwa jabatan Kepala Desa dipilih melalui mekanisme pemilu, sebagaimana jabatan politik lain seperti Presiden atau anggota DPR.

Maka, terpilih sebagai Kepala Desa ialah dipilih oleh rakyat desa untuk diberi amanah. Bagi yang mendapatkan amanah, tugasnya adalah bekerja dengan baik. Setelah itu, amanah dapat diberikan pada yang lain. Atau bisa menduduki jabatan itu lagi jika terpilih kembali oleh rakyat desa. Jadi, amanah itu diberi oleh pemberi amanah. Bukan diminta oleh penerima amanah.

Dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 disebutkan: Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian ayat (2) menyebutkan: Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Dari sini dapat dilihat bahwa Kepala Desa bisa menjabat tiga periode, secara berturut-turut atau tidak. Jika masa jabatan Kepala Desa diperpanjang menjadi 9 tahun dan menjabat berturut-turut, artinya Kepala Desa bisa menjabat selama 27 tahun.

Dalam konteks demokrasi, masa jabatan yang panjang adalah berita yang tidak baik. Karena itu mengarah pada kekuasaan yang absolut. yang lebih mengkhawatirkan, perpanjangan masa jabatan kepala desa mungkin akan membuka peluang abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan negara dan merusak local governance atau tata kelola pemerintahan lokal. Perlu di ketahui bersama juga bahwa semangat dari konstitusionalisme sendiri ialah adanya pembatasan kekuasaan. Dan kekuasaan yang dibiarkan cukup lama juga akan berpotensi membangun oligarki.

Untuk itu, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa sangatlah mengkhawatirkan bagi demokrasi di pedesaan. Diperbolehkannya seseorang menjabat Kepala desa selama sembilan tahun bertolak belakang dengan cita-cita hukum dan konstitusi. Hal tersebut mengesampingkan pembatasan kekuasaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi, konstitusi telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.


Pengaturan dan pembatasan kekuasaan merupakan ciri konstitusionalisme sekaligus tugas utama konstitusi. Dengan demikian, potensi terjadinya kesewenang-wenangan dapat dihindari. Moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat atau sifat pemegangnya. Betapapun baiknya seseorang, kekuasaan senantiasa diatur dan dibatasi supaya kebaikannya tidak termakan oleh kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun