Mohon tunggu...
Mujib Fatkur
Mujib Fatkur Mohon Tunggu... Guru - Guru

Manusia yang tidak memiliki daya tarik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi tentang pendidikan kritis dan pendidikan bagi kaum tertindas

12 Oktober 2024   09:51 Diperbarui: 12 Oktober 2024   09:59 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan pembelajaran dan refleksi. Dalam perjalanan ini, saya menemukan banyak hal yang mendalam dan memicu kesadaran baru tentang peran saya sebagai calon guru. Sebelum memulai proses pembelajaran, saya memiliki pandangan yang terbatas tentang pendidikan dan peran seorang guru. Saya berpikir bahwa tugas guru hanya mengajar materi pelajaran dan mengukur hasil belajar siswa melalui ujian. Namun, saya mulai menyadari bahwa pendidikan lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan adalah tentang membangun karakter, menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, dan memberdayakan siswa untuk berpikir kritis.

Dalam pembelajaran tentang pendidikan kritis dan fenomena sosial yang mempengaruhi pembelajaran, saya mempelajari bagaimana faktor-faktor seperti ekonomi, budaya, dan politik dapat menciptakan kesenjangan dalam pendidikan. Teori Ratner (2000) menekankan lima macam fenomena yang mempengaruhi karakter dan tindakan seseorang dalam proses pembelajaran, yaitu kegiatan budaya, nilai-nilai budaya, materi fisik, fenomena psikologi, dan agen. Dalam konteks ini, kesenjangan pendidikan muncul ketika faktor ekonomi membatasi akses siswa terhadap materi fisik yang memadai, seperti buku dan alat belajar. Ketidaksetaraan ini menyebabkan siswa dari latar belakang yang kurang mampu kehilangan kesempatan untuk belajar dengan baik, sehingga menghasilkan pendidikan yang tidak adil.

Dalam diskusi dengan rekan-rekan, saya belajar bahwa pengalaman mereka dalam pendidikan sangat beragam. Kami membahas bagaimana latar belakang sosial dan budaya mempengaruhi cara kami melihat pendidikan. Diskusi ini menegaskan pentingnya kolaborasi antar guru dan siswa untuk menciptakan ruang belajar yang saling menghargai dan memahami. Dalam konteks pendidikan kritis, seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire, penting untuk menciptakan ruang bagi kaum tertindas agar mereka dapat berpartisipasi secara adil dalam proses pembelajaran. Ini menegaskan perlunya mengakomodasi berbagai latar belakang budaya dan sosial dalam kurikulum.

Proses demonstrasi kontekstual yang kami jalani bersama kelompok membantu saya menyadari bahwa teori harus terhubung dengan praktik. Kami melakukan simulasi situasi di kelas yang menggambarkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh siswa. Dari sini, saya belajar pentingnya memahami kebutuhan siswa secara holistik dan beradaptasi dengan cara pengajaran yang sesuai dengan konteks mereka. Teori Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya juga relevan di sini, di mana siswa dari kelompok terpinggirkan sering kali merasa terasing dalam pendidikan yang tidak mengakomodasi budaya dan nilai-nilai mereka.

Sejauh ini, pemahaman saya tentang pendidikan telah berkembang. Saya menyadari bahwa pendidikan adalah proses yang dinamis dan kompleks. Hal baru yang saya pelajari adalah pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan mendengarkan suara siswa dalam setiap langkah pembelajaran. Saya ingin belajar lebih lanjut tentang metode pengajaran inklusif yang dapat membantu siswa dari berbagai latar belakang merasa diterima dan termotivasi. Dalam konteks ini, pendekatan kritis sangat penting untuk memberdayakan siswa agar dapat mengatasi ketidakadilan yang ada.

Saya juga menemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara materi pendidikan dan mata kuliah lain, seperti psikologi dan sosiologi. Pemahaman tentang perkembangan anak dan dinamika kelompok sosial sangat penting dalam mendukung proses pembelajaran yang efektif. Koneksi ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, teori Frankfurt juga memberikan perspektif bahwa pendidikan harus menjadi alat emansipasi, memungkinkan individu untuk mengeksplorasi dan memahami realitas sosial mereka.

Pembelajaran ini memberi manfaat besar untuk kesiapan saya sebagai guru. Saya merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adil. Jika saya harus menilai kesiapan saya saat ini, saya akan memberi nilai 7 dari 10. Meskipun saya memiliki pemahaman yang lebih baik, saya masih perlu lebih banyak pengalaman praktis dalam mengelola kelas yang beragam. Ke depan, saya akan mempersiapkan diri dengan mengikuti pelatihan pengajaran, serta aktif mencari pengalaman langsung di kelas melalui magang atau observasi di sekolah-sekolah.

Refleksi ini adalah langkah awal dalam perjalanan saya menjadi guru yang lebih baik. Dengan memahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang mempengaruhi pendidikan, saya berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang. Saya berharap bisa menjadi guru yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membuka jalan bagi semua siswa untuk mencapai potensi terbaik mereka. Melalui pendidikan kritis, saya ingin memberikan suara bagi mereka yang terpinggirkan dan menciptakan perubahan yang positif di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun