Mohon tunggu...
Mujib Almarkazy
Mujib Almarkazy Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk memanen pahala

Menulis itu adalah rangkaian dari huruf itu-itu saja bisa membuat sedih atau bahagia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kisah Cinta di Kerusuhan Ambon

21 Januari 2020   14:03 Diperbarui: 24 Januari 2020   10:30 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Januari Berdarah di malam mencekam...

Malam masih menunjukkan sangarnya. Bunyi ledakan senjata rakitan masyarakat dan senjata mesin batalion pengamanan masih terdengar. Aku masih dalam kebingungan yang kalap. Entah siapa musuh dan lawan. Kemarin seminggu sebelum lebaran Iedul Fitri, tertanggal 12 William yang akrab dipanggil Welem dan Jessica masih ikut acara buka puasa bersama. Perbedaan agama tidak pernah menjadi permasalahan buat persahabatan kami. Memang agama bukan sumber masalah. Agama hanya identitas berbangsa. Maluku punya tradisi sejak leluhur dengan perekat persaudaraan "Pela-Gandong". Persaudaraan yang diikat dengan sumpah oleh nenek moyang untuk saling menjaga laksana saudara kandung. 

Jarum pendek di arloji ku menunjukkan angka sepuluh. Hampir separuh malam telah ku lewati. Harusnya di hari Fitri ini ku jalani dengan riang gembira. Silaturahmi ke handai taulan. Memakan opor ayam spesial dan ketupat lebaran. Tidak mau kalah, pasti William dan Jessica akan datang bertamu. Kadang kantong plastik merah sudah dikantongi untuk persiapan membawa oleh-oleh jika mereka kembali ke rumah mereka. Itu pemandangan yang biasa di hari lebaran. 

Sungguh keadaan begitu berbalik. Harusnya takbiran kemenangan mensyukuri sebulan lamanya berpuasa menahan dahaga dan nafsu birahi. Membentuk pribadi yang suci dan peduli sesama. Kini yang ada hanyalah takbir kepiluan dan kesedihan. Kini William dan Jessica seakan memusuhi aku dan atau aku yang harus mencari celah untuk menghabisi saudara Pela ku. Hanya karena perbedaan latar belakang agama. Entah apa yang terjadi setelah penyerangan di masjid Batu Gajah saat Sholat Ied berlangsung. Padahal biasanya kita saling menjaga. Jika pihak Kristian ibadah kami yang menjaga keamanan dan ketertiban di luar. Begitupun, sebaliknya jika kami ibadah maka pihak saudara Kristian yang menjaga keamanan. 

Nasi telah menjadi bubur. Itulah pepatah yang bisa diucapkan. Keadaan tidak bisa dirubah. Banyak telah jatuh korban. Seakan jatuh korban yang satu meminta korban lainnya. Apapun alasannya, kini agama yang dikambing hitamkan. 

"Cano, ose kamari Dolo."

Suara itu dari arah Utara. Memecah lamunanku. Memanggil aku agar segera menuju ke lokasi suara. Entah apa yang terjadi. Segera ku tinggalkan doz karton mie instan yang ku jadikan pengalas tempat sujud ku. Dalam keadaan genting seperti ini sholat tetap tidak boleh  aku tinggalkan. Dengan sujud ku aku berdoa agar masalah di negeri para raja-raja ini cepat selesai. 

Sejurus kemudian, aku telah tiba di sumber suara. Seorang lelaki paruh baya yang kepalanya telah berlumuran darah diangkat dan dibopong oleh tiga orang pemuda yang ku kenal. Lelaki paruh baya itu mengenakan baju Koko cokelat dan sarung berwarna krem kemerahan. Sementara tiga pemuda itu, Yusuf, Haikal dan Budi. Hasan nama ku. Biasa disapa Cano. 

"Antua kanapa ini?"

Aku bertanya tentang keadaan lelaki yang terbujur itu. Antua itu sapaan untuk orang ketiga yang lebih dihormati atau yang umurnya lebih tua. 

"Antua ini dari Seram, tadi lewat di jembatan Rijali situ, antua mau pi lia antua pung ana yang kuliah di Unpatti. Pas antua lewat, la dapa sneper dari puncak gereja tua itu kaapa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun