Kelima, kurangnya dukungan regulasi dan reimbursement. Dalam hal ini, ketidakjelasan regulasi menghambat investasi dan pertumbuhan industri. Sementara keterbatasan reimbursement dari banyak perusahaan asuransi kesehatan membuat pasien enggan menggunakan layanan telehealth karena biaya tambahan.
Peluang dan TantanganÂ
Meskipun di Amerika Serikat, dua pemain besar seperti Walmart dan Optum hengkang dari bisnis telehealth, di Indonesia, peluang layanan telehealth masih terbuka lebar. Tantangannya memang ada, namun potensinya pun tak kalah besar.
Seperti diketahui, pasar telehealth di Indonesia masih tergolong baru dan sedang berkembang pesat. Menurut data Mordor Intelligence, diperkirakan pasar telehealth di Indonesia akan mencapai nilai USD 320 juta pada tahun 2025, dengan pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 34,5% selama periode 2020-2025.
Angka-angka tersebut tercermin antara lain dari penetrasi internet di Indonesia terus meningkat, dengan 77% populasi memiliki akses internet di tahun 2023. Hal ini memungkinkan lebih banyak orang untuk mengakses layanan kesehatan. Telehealth juga dapat memberikan akses ke dokter spesialis dan layanan kesehatan lainnya yang mungkin tidak tersedia di daerah tertentu
Namun demikian, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh pasar telehealth. Di beberapa daerah di Indonesia, masih terdapat keterbatasan akses dan kecepatan internet. Hal ini dapat menghambat penggunaan layanan telehealth. Seperti halnya di Amerika Serikat , adanya isu tentang dan keamanan data pasien saat menggunakan layanan telehealth. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil dalam layanan telehealth juga masih menjadi persoalan. Selain itu juga diperlukan edukasi untuk mengubah pola pikir masyarakat agar terbiasa dengan layanan kesehatan berbasis online.
Masa Depan Industri
Para pemain industri Telehealth di Indonesia seperti Halodoc, Alodoc, Klikdokter, SehatQ dan lain sebagainya perlu mengambil pelajaran penting dari tutupnya layanan telehealth Walmart dan Optum di Amerika Serikat.
Pertama, mengembangkan model bisnis yang berkelanjutan. Kegagalan Walmart dan Optum menunjukkan bahwa model telehealth awal yang berfokus pada kunjungan virtual untuk perawatan primer dan darurat tidak berkelanjutan. Model ini tidak terintegrasi dengan perawatan yang sudah ada dan tidak memberikan nilai yang cukup bagi pasien.
Kedua, perlunya integrasi dengan layanan kesehatan tradisional. Pasien menginginkan perawatan virtual yang terintegrasi dengan perawatan tradisional dan menawarkan pengalaman yang lebih holistik. Saat ini, model hybrid yang menggabungkan perawatan virtual dan tatap muka menjadi semakin populer.
Ketiga, teknologi memainkan peran penting dalam evolusi perawatan virtual. Beberapa perusahaan teknologi global seperti Wheel dan SteadyMD, maupun perusahaan dalam negeri seperti Telkom grup menyediakan infrastruktur teknologi untuk mendukung platform telehealth. Platform ini memungkinkan integrasi lebih banyak kemampuan perawatan virtual dan meningkatkan adopsi massal.