Guys, pagi ini, saya benar-benar tidak menyadari bakal menyaksikan sebuah -katakanlah ini kejadian langka. Sebuah pesan kebaikan yang tidak saya duga sama sekali. Dari seorang Martha, murid saya di kelas dua SD.
Martha memiliki wajah yang imut, bola mata yang selalu besar dan antusias, rambut keriting khas Papua dengan wajah manis apalagi bila tersenyum ramah. Ia tergolong pemalu. Namun, sekilas anak ini tampak beda dibanding yang lain.
Ia dihormati dan disayang sama semua teman-temannya. Anak ini jarang mendapat gangguan yang berarti dari kejahilan teman-temannya. Apa yang membuatnya seperti itu? saya juga belum tahu. Umumnya memang anak-anak di kampung pegunungan di sini, Fakfak, cukup rukun antara satu dengan lain. Mendengar dan menjalankan nasehat orang tua dan tetua adat/kampung merupakan hal yang wajib dilaksanakan.
Pagi ini, saya mendapat jawabannya. Bukan melalui sebuah penjelasan yang terlontar dari mulut anak-anak, tapi melalui sebuah tindakan yang layak diteladani. “Martha, terima kasih. bapak guru berutang nilai pengorbanan lewat dirimu”saya membatin.
Ceritanya begini.
Beberapa saat sebelum bel istirahat berbunyi, tugas anak-anak sudah selesai. Lalu, saya mulai berjalan dari satu bangku ke bangku yang lain. Memeriksa satu-satu dan menjelaskan soal yang tidak dipahami oleh masing-masing dari mereka.
Untuk kegiatan ini, saya sering dalam posisi setengah jongkok di depan bangku. Sehingga posisi kepala saya sejajar dan sama tinggi dengan kepala anak-anak. Ketika sedang asyik bercengkrama dengan masing-masing anak, tiba-tiba tanpa sepengetahuan saya Martha berdiri dan mulai berkeliling dari bangku ke bangku.
Ia membawa dua potong biskuit mirip Gabin di tangan mungilnya. Lalu, sepertinya ia telah memberi isyarat terlebih dahulu pada semua teman-temannya untuk tenang dan tidak mengganggu bapak guru.
Dua potong biskuit itu dia potong lagi kecil-kecil sehingga cukup untuk dimakan semua. Ia membuka mulut sebagai isyarat agar teman-temannya yang didatangi segera membuka mulut. Tanpa suara riuh sama sekali. Tanpa meninggalkan bangku, teman-temannya siap menerima makanan pagi dari Martha. Makanan yang sangat sedikit namun memiliki gizi ‘kekayaan batin’.
Maka Martha dengan sigap menyuapi teman-temannya satu persatu. Tanpa suara berisik apa-apa. Juga tanpa suara ribut kunyahan biskuit yang merangsek lembut di mulut anak-anak. Begitu senyap proyek ‘berbagi’ ini dilakukan oleh Martha sehingga saya benar-benar tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi hingga semuanya selesai.
“ko buka mulut sudah,,,,”