Seorang penulis bilang begini, “gotong royong itu, adalah sepotong Pancasila”. Mungkin seporsi besar yang lain adalah ‘keadilan sosial’ dan ‘persatuan’. Itu juga bagian dari yang membentuk Pancasila kita.
Semuanya, ketiga-tiganya itu, –gotong-royong-keadilan-sosial-persatuan- merupakan elemen pembentuk dan penguat modal sosial yang dimiliki bangsa ini. Dengan itulah Indonesia bisa dibedakan dari-dan-dengan negara-negara lain di dunia: Pancasila-nya. Negara yang dibangun dengan gotong royong yang menerapkan prinsip lima sila, a shared value yang akan terus kita bangun dan jaga.
Dalam urusan menyehatkan dan mengafiatkan kehidupan bangsa barangkali memang kita bukan Swedia yang akses kesehatannya nol rupiah alis gratis, bukan juga sekelas Belgia yang menerapkan biaya kesehatan hanya untuk perawatan gigi dan mulut. Negara kita, perlu gotong royong untuk menciptakan itu semua.
Menengok Sejarah, Menghitung Kekuatan dan Peluang
Cukup panjang histori yang negeri ini telah lewati dalam menjamin layanan kesehatan seluruh warganya. Laporan Health System Financing (2010) dari WHO mencatat Indonesia punya rekor panjang dan traumatik menerapkan Community Health Insurance (CHI), jaminan kesehatan berbasis komunitas.
Di tahun 1963, skema “Dana Sakit” diujicobakan di satu lokasi di Jawa Tengah. Namun, di tengah jalan, proyek tersebut gagal meski sempat dijalankan kembali enam tahun setelahnya, 1969. Tetapi dengan nama lain, “Dana Sehat”.
Rentang 1970 -1990, pemerintah mempromosikan regulasi baru ini sebagai bentuk alternatif dari pembiayaan layanan kesehatan di seluruh negeri. Perkembangan ini begitu terasa lambat mengingat capaian jumlah asuransi yang dapat di-cover hanya 23 juta jiwa –sekitar 11% populasi- di dekade berikutnya, 2000.
Disayangkan pula, ternyata upaya ini memiliki banyak kegagalan. Di belakang kemajuan tersebut, program-program manfaat yang ditawarkan tidak menarik, penarikan premi yang tidak cukup, dan tingkat dropout setinggi 90 persen.
Sejalan dengan “Dana Sehat”, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) diluncurkan pada 1992. Desain ini ternyata lebih punya daya tarik. Mengapa? Pada saat itu, dikenalkanlah “Kartu Sehat” untuk si sakit di tahun 1998. Kartu ajaib ini menggantikan posisi skema “Dana Sehat.” Namun demikian, kurang dari 20 persen masyarakat Indonesia yang menerima kartu tersebut ditahun 2003. Dampak yang dirasakan juga kurang, hanya sepersepuluh dari pemegang kartu memanfaatkannya secara efektif.
Pada 2004-2005, Kartu Sehat menjadi bagian integral dari desain jaminan sosial Indonesia di bawah "Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin" atau Askeskin. Meski demikian, hasil evaluasi menggambarkan peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan di rumah sakit oleh masyarakat kategori miskin, tetapi di sisi lain, meningkatkan pengeluaran dan ongkos pribadi. Nah, sejak saat itu, kesehatan jaminan kesehatan berbasis berbasis komunitas tidak lagi dimasukkan dalam agenda nasional pemerintah.
Sekarang, pemerintah mengujicobakan solidaritas sosial masyarakat bangsa ini. Nah, konsep ini kemudian menjadi seperti yang sudah kita kemukakan di awal. Desain gotong royong kesehatan yang mencakup seluruh rakyat Indonesia. Semoga tidak gagal lagi.