Murid-murid saya dulu, di Papua sana, hanya sesekali mengajak saya Mop.
‘Pak guru, ayo kitorang baku Mop,” kata mereka. Setelah itu, kami akan duduk melingkar, bercerita, dan tertawa bersama-sama. Setelah bubar, kami kembali ke peran masing-masing. Bukan sebagai pelawak. Karena bercanda, ada waktunya. Barangkali kita perlu belajar dari komedian-komedian di WIB dan budaya Mop Papua.
Ya, begitulah barangkali. Barangkali kita harus punya timing yang tepat dan konten cerita yang tidak random untuk menyebarkan Mukidi. Saya juga seorang penikmat Mukidi. Barangkali karena humor adalah bahasa yang universal yang setua dengan umur manusia dan kemanusiaan.
Atau jangan-jangan, untuk mengingat pesan humor, ia harus berangkat dengan cerdas dan tidak sporadis.
Terus berkabar (dan bercerita).
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H