Di era digital saat ini, permainan online menjadi salah satu hiburan favorit bagi anak-anak. Salah satu genre yang paling populer adalah game berlatar belakang simulasi perang. Meskipun game ini menawarkan pengalaman yang mendebarkan, kita perlu mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya, terutama terkait penggunaan bahasa yang tidak pantas.
Permainan online dengan setting simulasi perang, seperti "Call of Duty", "MLBB" atau "PUBG," sering kali menampilkan situasi yang sangat mendebarkan dan kompetitif. Dalam permainan ini, karakter sering berbicara dengan nada yang agresif, menggunakan istilah-istilah kasar dan kata-kata kotor dalam konteks pertempuran. Hal ini dapat menciptakan persepsi di kalangan anak-anak bahwa bahasa seperti itu adalah hal yang normal dan dapat diterima dalam situasi menegangkan. Misalnya, saat karakter dalam game mengalami kekalahan atau frustrasi, mereka mungkin mengeluarkan kalimat seperti "mati kau!" atau "cepat, bodoh!" yang bisa dengan mudah ditiru oleh anak-anak.
Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap bahasa agresif dalam game dapat memengaruhi perilaku anak. Studi oleh Anderson dan Dill (2000) mengungkapkan bahwa anak-anak yang sering bermain game kekerasan lebih mungkin untuk menggunakan bahasa kasar dalam interaksi mereka di dunia nyata. Selain itu, penelitian terbaru oleh Przybylski dan Weinstein (2019) mengonfirmasi bahwa keterlibatan dalam game kekerasan berhubungan dengan peningkatan tingkat agresivitas di kalangan remaja, termasuk dalam cara mereka berbicara. Dengan kata lain, apa yang mereka dengar dan lakukan di dalam game dapat memengaruhi cara mereka berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.
Simulasi kondisi perang dalam game tidak hanya mengajarkan strategi dan kerja sama tim, tetapi juga bisa mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Ketika anak-anak terbiasa mendengar dan menggunakan kata-kata kotor dalam permainan, mereka mungkin mulai menganggap bahwa penggunaan bahasa kasar adalah bagian dari norma dalam situasi yang penuh tekanan. Penelitian oleh Domahidi dkk (2020) mengungkapkan bahwa paparan terhadap konten kekerasan dalam game dapat berpengaruh pada cara anak berinteraksi dengan orang lain, termasuk penggunaan bahasa yang tidak pantas.
Di Indonesia, penelitian oleh Hidayati dan Mardiana (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang sering bermain game perang cenderung lebih sering menggunakan bahasa kasar di sekolah dan dalam interaksi sosial. Penelitian ini menekankan pentingnya peran orang tua dan pendidik dalam memantau dan mendiskusikan konten permainan dengan anak-anak.
Sebagai orang tua dan pendidik, penting untuk menyadari pengaruh dari permainan ini. Kita perlu menciptakan ruang untuk berdiskusi dengan anak-anak tentang bahasa yang mereka gunakan. Misalnya, setelah bermain, kita bisa mengajak anak untuk berbicara tentang pengalaman mereka dan mempertanyakan beberapa kata yang mereka gunakan. Dengan cara ini, kita dapat memberikan pemahaman mengenai batasan-batasan dalam berkomunikasi.
Selain itu, kita juga harus mendorong anak-anak untuk memilih permainan yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik. Banyak game yang menawarkan pengalaman seru tanpa harus melibatkan bahasa yang kasar, seperti "Minecraft" atau "LEGO" yang bisa merangsang kreativitas dan imajinasi tanpa menurunkan kualitas bahasa mereka.
Kesimpulannya, meskipun permainan online dengan latar belakang simulasi perang bisa menjadi sumber hiburan yang menarik, kita tidak bisa mengabaikan dampaknya terhadap perkembangan bahasa anak. Mari kita berperan aktif dalam membantu anak-anak memahami pentingnya menggunakan bahasa yang baik, sehingga mereka bisa tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beretika dalam berkomunikasi.
Referensi:
Anderson, C. A., & Dill, K. E. (2000). Video games and aggressive thoughts, feelings, and behavior in the laboratory and in life. Journal of Personality and Social Psychology, 78(4), 772--790.