Korupsi adalah musuh abadi yang terus menggerogoti fondasi bangsa. Dalam sejarah panjang Indonesia, korupsi telah menjadi salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan negara. Pada Hari Anti Korupsi Sedunia, perhatian dunia tertuju pada upaya pemberantasan korupsi di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang hingga saat ini masih bergulat dengan tantangan besar, baik di tingkat kelembagaan maupun budaya masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto, melalui visi besar Astacita, menetapkan agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu pilar utama reformasi politik, hukum, dan birokrasi. Ini adalah langkah strategis untuk memerangi akar permasalahan yang menghambat pembangunan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi sangat kompleks. Salah satu perhatian utama adalah kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap melemah dibandingkan masa kejayaannya.
Pelemahan KPK menjadi salah satu isu yang paling banyak disorot dalam beberapa tahun terakhir. Revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 menjadi momen yang menandai perubahan signifikan dalam cara kerja lembaga ini. Salah satu perubahan kontroversial adalah kehadiran Dewan Pengawas, yang harus memberikan izin sebelum KPK dapat melakukan penyadapan. Langkah ini dipandang sebagai pembatasan terhadap independensi lembaga. Data menunjukkan bahwa pada periode 2020--2022, jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK menurun drastis dibandingkan periode sebelumnya, mencerminkan penurunan kinerja lembaga dalam menindak pelaku korupsi.
Selain itu, alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) juga menjadi sorotan tajam. Perubahan ini memunculkan kekhawatiran akan potensi intervensi politik yang lebih besar terhadap lembaga tersebut. Kejadian seperti pemecatan sejumlah pegawai melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), termasuk tokoh seperti Novel Baswedan, semakin memperkuat persepsi publik bahwa KPK sedang kehilangan independensinya. Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia turun dari skor 40 pada 2019 menjadi 38 pada 2022, mencerminkan semakin buruknya persepsi publik terhadap efektivitas pemberantasan korupsi.
Namun, masalah tidak hanya terletak pada kelemahan lembaga. Budaya permisif terhadap korupsi yang masih mengakar di masyarakat turut memperumit upaya pemberantasan. Banyak masyarakat yang menganggap korupsi sebagai kelaziman, terutama karena mereka sering menyaksikan perilaku serupa di tingkat elit. Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023, lebih dari 50% responden percaya bahwa suap atau gratifikasi adalah "bagian tak terhindarkan" dalam mendapatkan pelayanan publik. Pandangan semacam ini menunjukkan lemahnya pemahaman tentang dampak buruk korupsi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
Dalam kajian teori, ada beberapa pendekatan yang relevan untuk memahami mengapa korupsi sulit diberantas di Indonesia. Teori budaya korupsi, misalnya, menyoroti bahwa korupsi sering dipandang sebagai norma sosial di lingkungan tertentu, terutama di birokrasi yang sudah lama terbiasa dengan praktik semacam ini. Teori kelembagaan menjelaskan bahwa sistem hukum dan struktur pemerintahan yang tidak transparan membuka celah besar bagi korupsi. Sementara itu, teori ekonomi politik menunjukkan bagaimana distribusi kekuasaan yang tidak merata menciptakan kondisi yang mendukung korupsi, di mana elit politik dan ekonomi memanfaatkan celah untuk mempertahankan dominasi mereka.
Konteks Indonesia mencerminkan gabungan dari ketiga teori tersebut. Korupsi sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Struktur hukum yang lemah dan sering kali diwarnai oleh konflik kepentingan menciptakan hambatan besar dalam penegakan hukum. Di sisi lain, masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang baik tentang bahaya korupsi cenderung bersikap apatis terhadap permasalahan ini.
Namun, masih ada harapan untuk perubahan. Presiden Prabowo, melalui Astacita, menempatkan reformasi politik, hukum, dan birokrasi sebagai prioritas utama. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, reformasi ini dapat menjadi fondasi kuat bagi pemberantasan korupsi di masa depan. Hal ini harus diiringi dengan penguatan kembali KPK, termasuk memberikan independensi penuh kepada lembaga tersebut untuk melakukan penyelidikan, penyadapan, dan penindakan tanpa intervensi dari pihak mana pun.
Masyarakat juga harus memainkan peran yang lebih aktif dalam mendorong budaya anti-korupsi. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai integritas harus menjadi prioritas sejak usia dini. Media massa dan organisasi masyarakat sipil memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Selain itu, pemerintah perlu menciptakan insentif bagi institusi yang berhasil menunjukkan tata kelola bersih, sekaligus menerapkan sanksi tegas bagi pelaku korupsi untuk memberikan efek jera yang nyata.
Langkah-langkah ini tidak akan efektif tanpa adanya dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Hari Anti Korupsi Sedunia harus menjadi momen refleksi sekaligus panggilan untuk bertindak. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju jika korupsi terus merajalela. Tantangan besar yang dihadapi, mulai dari lemahnya KPK hingga budaya permisif terhadap korupsi, tidak seharusnya menjadi alasan untuk menyerah. Sebaliknya, tantangan ini harus menjadi pemacu semangat untuk memperjuangkan keadilan, kemakmuran, dan masa depan bangsa yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H