Mohon tunggu...
Mujab Mujab
Mujab Mujab Mohon Tunggu... Buruh - Wahana menuangkan karya dan gagasan

Saya aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Selain itu aktif di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sejak tahun 2003 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Guru di Era AI: Peluang dan Tantangan

24 November 2024   16:14 Diperbarui: 24 November 2024   16:25 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era teknologi telah membawa perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Salah satu inovasi yang menjadi sorotan adalah pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam pembelajaran. Di satu sisi, AI menjanjikan peluang untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas mengajar. Namun, di sisi lain, teknologi ini juga memunculkan tantangan signifikan, terutama bagi guru yang menjadi ujung tombak pendidikan. Bagaimana guru dapat beradaptasi dan memberdayakan teknologi AI tanpa terjebak dalam ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap inovasi ini?Seiring dengan semakin majunya teknologi, AI telah merambah berbagai sektor, termasuk pendidikan. Di Indonesia, teknologi ini mulai diperkenalkan sebagai alat bantu untuk memperkaya proses pembelajaran. Sebagai contoh, ChatGPT, yang dirancang untuk menghasilkan jawaban interaktif berdasarkan pertanyaan pengguna, telah digunakan untuk mempermudah guru dalam merancang materi pembelajaran, menilai tugas, atau memberikan umpan balik kepada siswa. Hal ini diungkapkan dalam penelitian Prananta et al. (2023), yang menyoroti integrasi AI dalam media pembelajaran sains di era digitalisasi. Dalam konteks ini, AI bukan hanya sekadar alat, tetapi juga peluang untuk memperluas kapasitas pembelajaran guru dan siswa.

Namun, seperti halnya teknologi baru lainnya, penerapan AI di dunia pendidikan tidak selalu berjalan mulus. Tantangan terbesar datang dari kurangnya literasi digital di kalangan guru. Banyak guru yang merasa ragu atau bahkan takut akan keberadaan AI, terutama karena mereka belum memahami sepenuhnya cara kerja teknologi ini. Ketakutan ini tidak hanya mencakup kemungkinan tergantikannya peran manusia oleh mesin, tetapi juga kekhawatiran akan dampak negatif AI terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Studi yang dilakukan oleh Baidoo-Anu dan Ansah (2023) menyoroti bahwa meskipun AI seperti ChatGPT dapat mempersonalisasi pembelajaran dan memberikan pengalaman interaktif, ada potensi bias, informasi palsu, atau bahkan pelanggaran privasi jika AI digunakan tanpa pengawasan.

Untuk menjawab tantangan ini, penting bagi guru untuk melihat AI sebagai alat pendukung, bukan sebagai ancaman. Dengan memahami potensi AI secara menyeluruh, guru dapat memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan efektivitas pengajaran. Sebagai contoh, AI dapat digunakan untuk menyederhanakan proses administratif seperti penilaian otomatis atau pembuatan rencana pelajaran, sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada interaksi langsung dengan siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Arista et al. (2023) menunjukkan bahwa pemanfaatan AI dapat mempercepat transformasi pendidikan, terutama di institusi pendidikan tinggi di Indonesia dan Malaysia. Dengan teknologi seperti ChatGPT, guru tidak hanya terbantu dalam tugas-tugas administratif tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan pedagogis mereka.

Namun, literasi AI menjadi kunci penting dalam mengatasi tantangan ini. Guru perlu dilibatkan dalam pelatihan khusus untuk memahami cara kerja AI serta etika penggunaannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Vargas-Murillo et al. (2023), disebutkan bahwa salah satu hambatan utama dalam implementasi AI adalah kurangnya pemahaman guru mengenai teknologi tersebut. Dengan memberikan pelatihan yang komprehensif, guru tidak hanya dapat meningkatkan keterampilan mereka tetapi juga lebih percaya diri dalam menggunakan AI sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dalam hal ini, institusi pendidikan dan pemerintah memiliki peran besar untuk menyediakan akses terhadap pelatihan semacam itu.

Di sisi lain, tantangan etika juga perlu menjadi perhatian. AI, seperti ChatGPT, dapat menghasilkan jawaban yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan. Ini menjadi perhatian utama dalam studi yang dilakukan oleh Lo (2023), yang menekankan perlunya pembaruan metode penilaian dan kebijakan institusional untuk mengakomodasi penggunaan AI di kelas. Selain itu, pemanfaatan AI juga memunculkan pertanyaan tentang privasi data dan kemungkinan pelanggaran etika dalam penggunaannya. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan pedoman yang jelas agar penggunaan AI tetap berada dalam koridor yang benar.

Meski demikian, optimisme tetap harus dijaga. ChatGPT, misalnya, telah menunjukkan potensi besar dalam mendukung pengembangan profesional guru. Penelitian oleh Shamsudin et al. (2023) mengungkapkan bahwa AI dapat digunakan untuk membantu guru merancang materi pembelajaran STEM yang lebih menarik dan relevan. Selain itu, AI juga dapat menjadi alat yang efektif untuk refleksi diri, di mana guru dapat menganalisis kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengajar melalui umpan balik yang diberikan oleh sistem berbasis AI. Dengan demikian, AI bukan hanya alat untuk siswa, tetapi juga media pembelajaran bagi guru itu sendiri.

Namun, penerimaan teknologi ini di kalangan guru juga tergantung pada bagaimana AI diperkenalkan. Seperti yang ditunjukkan oleh Chinonso et al. (2023), guru cenderung lebih terbuka terhadap teknologi baru jika mereka diberikan informasi yang transparan tentang manfaat dan risiko penggunaannya. Selain itu, keterlibatan aktif guru dalam pengembangan dan implementasi teknologi ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan kepercayaan mereka terhadap AI. Oleh karena itu, dialog yang konstruktif antara pengembang teknologi, pendidik, dan pembuat kebijakan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa AI diadopsi secara bijak.

Sebagai kesimpulan, AI menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi juga memunculkan tantangan yang tidak bisa diabaikan. Guru memegang peran sentral dalam menentukan keberhasilan implementasi teknologi ini. Dengan meningkatkan literasi AI dan memberikan pelatihan yang memadai, guru dapat diberdayakan untuk memanfaatkan teknologi ini secara efektif. Pada akhirnya, AI bukanlah pengganti guru, melainkan alat untuk mendukung mereka dalam memberikan pendidikan yang lebih baik bagi siswa. Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat menjadi mitra yang kuat dalam perjalanan transformasi pendidikan di Indonesia.
Selamat Hari Guru 2024. /jb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun