Kebetulan lagi WFH, atas inisiatif sendiri, saya jalan-jalan ke pasar yang tidak terlalu jauh dari lokasi rumah saya. Sudah lama saya tidak ke pasar. Karena biasanya kekasih hati, istri tercinta yang ke pasar.Â
Saya tahunya beres dan tinggal menikmati hasil masakannya. Paling banter, memberi komentar atas masakannya yang maknyus, enak, dan bisa memanjakan lidah saya.
Sampai di pasar spontan berkelebat pikiran dan tebersit keinginan saya untuk menikmati pepes ikan emas menemani makan siang hari ini. Buru-buru kaki saya melangkah menuju lapak khusus penjual ikan.Â
Merapatlah saya ke penjual ikan emas (carassius auratus) yang segar (masih hidup). Bertanya pada penjual ikan, berapa harga sekilo ikan emas. "Rp45 ribu, pak!" jawabnya. Biasa kalau di pasar tradisional itu, saya tidak pernah berhenti dan mengiyakan harga yang disebut oleh si penjual.Â
Makanya, saya pasti menawar, agar si penjual atau tukang ikan menurunkan harganya sedikit saja. Saya menawar Rp40 ribu, kurang Rp5 ribu dari harga yang ditawarkan di awal. Tapi tampaknya tukang ikan tidak mau goyah. Ia tetap bersikeras pada harga semula dan tidak mau menurunkan harganya. Tetap pada kisaran per kilo ikan emas Rp45 ribu. Akhirnya, saya merasa tak berkutik. Ya sudah manut dan sepakat dengan tukang ikan. Dikilolah satu kilo ikan emas.Â
Selain ikan emas, saya juga beli ikan mujair satu kilo seharga Rp38 ribu. Bagi saya, ikan mujair ini menarik, selain rasanya agak berbeda dengan ikan emas, juga ikan mujair ini, ada lagunya, dangdut lagi, Geboy Mujair. Penyanyinya Ayu Ting Ting yang baru-baru ini tidak jadi melepas masa menjandanya (jelas ini enggak ada hubungannya).Â
Saya membayar satu kilo ikan emas dan satu kilo mujair seharga Rp80 ribu saja. Rp45.000,00 x Rp38.000,00. Kok? Ternyata si tukang ikan itu baik, dan memberi saya diskon. "Ya sudah saya genapkan," katanya. "Terima kasih!" jawab saya.
Sebenarnya, saya tidak sekadar membeli ikan emas dan ikan mujair itu pada akhirnya. Saat di pasar, pikiran saya kerap berubah. Jadi, banyak yang saya beli. Itulah kelemahan saya kalau sudah berada di pasar, keinginan lebih besar daripada kebutuhan.Â
Saya terus terang sering tidak bisa konsisten kalau sudah pergi dan berada ke pasar untuk berbelanja. Penginnya beli apa saja yang kira-kira menggoda mata dan hasrat konsumtif saya. Tapi, logika saya kerap berbicara bahwa apa yang saya beli berfaedah ini. Enggak apa-apalah, kecuali nirfaedah.Â
Agak terlalu ribet saja kalau saya berbelanja harus juga menggunakan mazhab filsafat. Misalnya, filsafat rasionalisme, empirisisne, eksistensialisme, pragmatisme, dan seterusnya itu. Menggunakan paham rasionalisme-nya filsuf René Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), misalnya, nanti malah tidak jadi-jadi belanja, kebanyakan mikir.
Semua belanjaan sudah saya masukkan ke kendaraan. Sambil bersiul, pulanglah saya besama satu kilo ikan emas, satu kilo ikan mujair, dan seperangkat belanjaan yang lainnya terbaring dengan pasrah di bagasi.