Pemerintah minta dikritik. Pernyataan (dalam arti permintaan) ini, pada awalnya disampaikan oleh Presiden Jokowi saat acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Presiden Jokowi dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
Kemudian, Pramono Anung Wibowo, Sekretaris Kabinet, "menggendanginya" dengan bunyi kata, "pedas" dan "keras" itu.
Pramono Anung menyatakan bahwa untuk menjaga demokrasi tetap berlangsung, bagi pemerintah, kebebasan pers adalah sesuatu yang wajib dijaga. Kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah.
"Dan kita membutuhkan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras (dari pers). Karena dengan kritik itulah, pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar," ujarnya dalam tayangan virtual di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (9/2/2021).
Istilahnya, tidak ada angin tidak ada hujan (padahal sebenarnya sekarang lagi musim angin dan musim hujan, bahkan sangat memprihatinkan, banyak daerah yang terendam banjir), sontak pemerintah minta dikritik dengan keras dan pedas oleh rakyatnya.
Janggalkah, berlebihankah, atau itu memang sewajarnya?
Bukankah ini sama saja artinya bahwa, pemerintah sebenarnya sedang menggarami laut. Air laut itu (memang aslinya) sudah asin, kenapa pula harus digarami?!
Alih-alih sebagai kalimat atau sikap penguatan (taukid), justru mengundang tanya, blunder, dan kontra produktif. Menambah kegaduhan baru di tengah wabah Covid-19 yang belum juga mereda dan musibah banjir yang melanda beberapa daerah di antero negeri.
Sudah tahu, kritik itu bagian penting dari proses demokrasi. Enggak perlu diminta pun, memang semestinya pemerintah itu harus terus dikritik, dikontrol, dan diawasi. Biar ada balance, integritas, profesional, dan akuntabel. Biar tetap berjalan (bekerja) sesuai treknya. Berada di "jalan yang benar". Tidak melenceng. Tetap terarah.
Karena orang mau melontarkan kritik, terlepas itu apakah konstruktif dan memberikan solusi ataupun tidak, misalnya sekadar melontarkan kritik, atau tanggapan (komentar), malah sudah ketakutan duluan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!