Ini adalah tulisan spontan dan dadakan saya dari keterbatasan dan kedangkalan pengetahuan saya (tanpa mengulik data yang lebih mendalam lagi) tentang persentuhan saya di "dunia lain" dengan Khrisna Pabichara—menulis namanya harus ekstra hati-hati, kalau tidak, bisa-bisa saltik.
Ya, tentang Khrisna Pabichara, seorang ulama—sesuatu yang unik dalam bahasa Indonesia, karena bentuk tunggalnya dalam bahasa Arab adalah "alim"—bahasa atau narabahasa, dan penulis yang sudah berlanglang buana di dunia "persilatan" literasi tanah air yang saya benar-benar kecantol menjadi fan dan pengagumnya.Â
Untuk itu, jika nanti ada data atau hal-hal yang terasa kurang sreg, atau mungkin tampak melebih-lebihkan, dan lebih bernuansa memuji—tapi memang ia layak dipuji dan dihujani apresiasi khusus, dus, berkenan mohon dimaklumi dan diluruskan. Namanya juga pemula, dan agak pemalu (mudah-mudahan enggak malu-maluin aja).
Itu semua berangkat dari kekuperan (dibaca: kekurangpergaulan) dan keterbatasan saya tadi tentang kiprahnya di laguh-lagah—jujur, ini salah satu dari sekian banyak sedekah dan amal jariah kosakata yang ia ajarkan dan tebarkan, insya Allah, pahala kebaikannya terus mengalir kepadanya—tradisi literasi selama ini.
Baik. Saya mulai dari sini dulu. Sedari kecil saya memang sudah telanjur suka membaca buku. Buku apa saja. Buku tentang filsafat, agama, budaya—terlebih sastra, bisa puisi, cerpen, atau novel.Â
Kenapa saya suka sekali membaca buku? Jawabannya, pasti panjang dan ngalor-ngidul. Yang jelas, kalau diringkas dan disederhanakan jawabannya, kurang lebih, karena saya suka saja. Saya betah dan khusyuk kala membaca buku.Â
Selain itu, secara pragmatis, kenapa saya suka membaca buku, saya akui, sedikit banyak, karena saya kerap menyaksikan kebiasaan Bapak saya yang suka sekali membaca buku. Mungkin dari situ, saya tertular virus membaca.
Dulu dan sampai sekarang pun, masih saja, di setiap sudut atau ruang rumah itu, yang saya lihat buku ada di mana-mana. Pabalatak (Bahasa Sunda, artinya semrawut atau acak-acakan). Di meja tamu, meja makan, tempat tidur, cuma tidak di kamar mandi saja, tergelatak begitu saja buku atau kitab-kitab kuning (buku klasik berbahasa Arab).Â
Sehabis membaca, kebiasaan buruk Bapak saya membiarkan buku-buku itu tergeletak, tanpa mengembalikannya lagi ke lemari atau rak buku.
Sebuah kebiasaan yang kurang baik sebenarnya, layaknya kebiasaan anak-anak dengan mainannya yang sering membiarkan begitu saja, dan enggan membereskannya lagi sehabis bermain. Ibu saya biasanya yang telaten membereskan dan mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya semula.
(Benar saja, jadi panjang plus lebar, dan ngalor-ngidul prolognya. Atau jangan-jangan tulisan ini pun lebih pantas disebut prolog tentang seorang ulama bahasa Khrisna Pabichara).