Dalam bahasa hukum, UU Cipta Kerja ini adalah cacat hukum. Karena setelah diteroka, ditemukan kata "cacat" masih tercantum dalam UU Cipta Kerja ini, untuk menunjukkan frasa "orang disabilitas" atau "penyandang disabilitas".
Logika sederhananya, produk hukum yang baru atau undang-undang yang baru itu mestinya tidak bertentangan dengan produk hukum, atau undang-undang yang masih berlaku sebelumnya.
Mungkin ada orang yang berkata bahwa itu soal istilah saja, dan subtansinya (maksudnya) itu sama, penyandang disabiliitas adalah penyandang cacat itu sendiri. Ini namanya orang ngeles.
Istilah dalam bahasa itu sangat prinsip, dan dampaknya sangat besar. Baik itu serara hukum, politik, sosial, budaya, maupun psikologis. Realitasnya, penyandang disabilitas itu sangat keberatan dan tidak mau disebut penyandang cacat.Â
Itu sangat merendahkan martabat dan merisak penyandang disabilitas sebagai manusia. Ada pelecehan secara bahasa atau istilah terhadap keberadaan penyandang disabilitas yang berdampak secara hukum, politik, sosial, budaya, dan psikologis.
Penyebutannya saja sudah merendahkan dan merisak begitu, apalagi menyangkut nasib dan hak-hak yang yang mesti dipenuhi. Padahal jelas negara harus menjamin dan melindungi hak-haknya sebagai warga negara.Â
Soal perbedaan dan kekurangan pada fisik dan mental itu adalah niscaya, sama halnya dengan sesama orang yang bukan penyandang disabilitas. Ada perbedaan juga dari segi fisik dan mental.
Itulah makanya lahir UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang melarang penggunaan istilah "penyandang cacat" terutama berkaitan dengan bahasa hukum.
Dalam UU itu disebutkan, bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Harus ada kesamaan kesempatan, tidak diskriminasi, perlindungan, pemenuhan hak-haknya, penghormatan, pemberdayaan, aksesibilitas, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan dalam UU Penyandang Disabilitas itu.