Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Cacat" dalam UU Cipta Kerja, dan Buruknya Komunikasi Politik Pemerintahan Jokowi

23 Oktober 2020   16:46 Diperbarui: 23 Oktober 2020   23:48 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku UU Cipta Kerja/JPNN.com/Karikatur oleh ASHADY

Dalam bahasa hukum, UU Cipta Kerja ini adalah cacat hukum. Karena setelah diteroka, ditemukan kata "cacat" masih tercantum dalam UU Cipta Kerja ini, untuk menunjukkan frasa "orang disabilitas" atau "penyandang disabilitas".

Salah satu tangkapan layar draf final UU Cipta Kerja 812 halaman versi DPR yang masih tercantum frasa penyandang cacat/dokpri
Salah satu tangkapan layar draf final UU Cipta Kerja 812 halaman versi DPR yang masih tercantum frasa penyandang cacat/dokpri
Alasannya, karena dengan begitu berarti UU Cipta Kerja ini bertentangan dengan beberapa undang-undang, antara lain, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang notabene menghapus Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Logika sederhananya, produk hukum yang baru atau undang-undang yang baru itu mestinya tidak bertentangan dengan produk hukum, atau undang-undang yang masih berlaku sebelumnya.

Mungkin ada orang yang berkata bahwa itu soal istilah saja, dan subtansinya (maksudnya) itu sama, penyandang disabiliitas adalah penyandang cacat itu sendiri. Ini namanya orang ngeles.

Istilah dalam bahasa itu sangat prinsip, dan dampaknya sangat besar. Baik itu serara hukum, politik, sosial, budaya, maupun psikologis. Realitasnya, penyandang disabilitas itu sangat keberatan dan tidak mau disebut penyandang cacat. 

Itu sangat merendahkan martabat dan merisak penyandang disabilitas sebagai manusia. Ada pelecehan secara bahasa atau istilah terhadap keberadaan penyandang disabilitas yang berdampak secara hukum, politik, sosial, budaya, dan psikologis.

Penyebutannya saja sudah merendahkan dan merisak begitu, apalagi menyangkut nasib dan hak-hak yang yang mesti dipenuhi. Padahal jelas negara harus menjamin dan melindungi hak-haknya sebagai warga negara. 

Soal perbedaan dan kekurangan pada fisik dan mental itu adalah niscaya, sama halnya dengan sesama orang yang bukan penyandang disabilitas. Ada perbedaan juga dari segi fisik dan mental.

Itulah makanya lahir UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang melarang penggunaan istilah "penyandang cacat" terutama berkaitan dengan bahasa hukum.

Dalam UU itu disebutkan, bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Harus ada kesamaan kesempatan, tidak diskriminasi, perlindungan, pemenuhan hak-haknya, penghormatan, pemberdayaan, aksesibilitas, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan dalam UU Penyandang Disabilitas itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun