Pada HUT 75 RI, dan jelang peringatan wafatnya (29 Agustus 2005) atau haul ke-15 tahun ini, saya teringat guru bangsa dan cendikiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish Madjid--akrab disapa Cak Nur--dalam memaknai kemerdekaan Indonesia kita. Semoga kasih sayang dan rida Tuhan melimpah dalam petirahannya yang abadi di alam baka. Lahu al-fatihah.
Menurut hemat saya, bahwa pemikiran Cak Nur itu ibarat membentangkan benang jika ditarik maka akan sangat panjang. Menembus batas tradisi, dan tak pernah berakhir. Karena harus terus digaungkan dan dilanjutkan oleh "anak-anak ideologis" Cak Nur, atau kerap disebut Caknurian sebagai penerus perjuangannya.Â
Pemikiran Cak Nur (lahir di Jombang Jawa Timur, Â 17 Maret 1939) ini mengikat dengan simpul yang sangat kuat dua pangkal benang itu dengan ikatan corak budaya keindonesiaan sebagai benang merah.Â
Satu pangkal adalah khazanah pemikiran (keilmuan) Islam klasik, dan pada pangkal yang lain adalah khazanah pemikiran (keilmuan) Barat modern.
Pemikiran sang penarik gerbong (lokomotif) pembaruan Islam di  Indonesia ini--meminjam julukan majalah Tempo di tahun 1970-an untuk Cak Nur--memang tumbuh dan berkembang di saat-saat Indonesia tengah gegap gempita membangun, mengisi, dan memaknai kemerdekaannya.Â
Jejak dedikasi dan kontribusi Cak Nur tetap relevan dan sangat signifikan dalam memengaruhi perjalanan kehidupan kemerdekaan Indonesia sebagai proses berbangsa dan bernegara sampai hari ini, dan masa depan Indonesia.
Formulasi yang sangat terkenal, atau bisa juga dibilang postulat, dari pemikiran pembaruan Islam Indonesia ala Cak Nur, adalah bertumpu pada bingkai besar dan proyek strategis pemikirannya yang bersifat kultural dan dinamis-progresif tentang "Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan".
Perpaduan rujukan dua khazanah keilmuan (pemikiran), Islam klasik dan Barat modern yang mengantarkan Cak Nur sangat mumpuni dan diakui dalam mengelaborasi, memformulasikan dan mengatualisasikan pemikirannya dalam pembaruan Islam di Indonesia.
Pemikirannya tetap konsisten dan selalu beranjak dari sumber otentik nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.
Formulasi yang selalu dirujuk oleh Cak Nur dalam mengembangkan pemikiran pembaruan Islam Indonesia  adalah prinsip dalam rangka "menjaga tradisi lama (klasik) yang dianggap baik dan maslahat, dan mersepons tradisi baru dan tidak lepas dari kekinian (kemodernan) yang lebih baik dan maslahat." (Al-muhafazatu 'ala al-qadim al-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah).
Pemikiran Cak Nur dalam pembaruan Islam di Indonesia itu lebih bercorak kepada Islam yang moderat, menghargai pluralisme dan toleransi, tidak diskriminasi, nirkekerasan, inklusif, egalitarianisme, menjunjung tinggi nilai-nilai budaya nusantara (keindonesiaan), berkemajuan dan merespons modernitas.