Jelang Pemilu serentak 2019, atmosfir politik kian hari kian memanas. Terutama pilpresnya.
Pileg kurang gereget. Perang baliho dan tebar poster caleg di setiap sudut kota/kampung, pinggir jalan dan ruang publik benar sudah mulai semarak.
Tapi nuansanya berbeda dengan pilpres. Pilpres lebih besar menyedot perhatian dan emosi publik.
Berita tebar pesona dan perang opini antar dua kubu capres dan cawapres lebih viral di linimasa dan media sosial, daring-luring. Gaduh dan sesak luar biasa.
Saling serang dari dua kubu di pilpres tidak bisa dibendung. Pertempuran petahana vs oposisi memengaruhi emosi dan respons publik tak terelakkan.Â
Sampai-sampai sulit membedakan, mana petahana dan mana oposisi. Karena saling menyerang itu. Muncullah, term "petahana rasa oposisi".Â
Padahal petahana bersuara nyaring untuk berusaha menjawab dengan data dan menampik tuduhan oposisi yang ditenggarai tanpa bukti. Bukan menyerang, tapi justru mengklarifikasi.
Salah satu isu menarik beberapa hari belakangan ini adalah viralnya isu dukungan terhadap dua paslon di pilpres dari alumni Gontor. Sebuah pondok pesantren modern terbesar dan tertua di tanah air.
Apa yang terjadi pada pondok pesantren Gontor tampaknya terjadi juga pada lembaga yang sama. Termasuk forum atau organisasi alumni universitas-universitas di Indonesia.
Menarik. Tidak sedikit forum yang mengatasnamakan alumni. Mana yang resmi, mana yang abal-abal. Tampaknya sama-sama mengklaim resmi.
Sejatinya, bahwa prinsip pondok pesantren itu, "Berdiri di atas dan untuk semua golongan". Pondok pesantren itu tidak partisan. Bersikap netral. Tidak masuk lebih dalam ke ranah politik. Tidak hanyut dalam sikap vested interest.