Mohon tunggu...
Muin Tambelan
Muin Tambelan Mohon Tunggu... -

Suara burung sangat asik untuk didengar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Calon Independen Pilkada, Kenapa Rumit?

1 September 2017   14:04 Diperbarui: 4 September 2017   18:55 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi (Sumber: Melly Kartika, 2017)

UU Pilkada (UU Nomor 10 Tahun 2016) memberi "ruang" calon independen maju di pilkada kabupaten, kotamadya dan provinsi. Tapi, penuh "lika liku" baik untuk si calon independen maupun Komisi Pilkada (KPUD) sebagai penyelenggara. Bukan itu saja, juga berpotensi menghabiskan uang negara atau daerah.

Kerumitan itu bermula dari persyaratan dukungan KTP yang berkisar antara 6,5% sampai 10% dari jumlah pemilih di suatu daerah. Besar kecilnya persentase KTP tergantung dari populasi calon pemilih. Tak kalah rumit adalah verifikasi aktual yang dilakukan KPUD. Dimana KPUD harus melakukan sensus terhadap pemilik KTP. Artinya pihak KPUD harus mendatangi satu persatu rumah pemberi dukungan.

Bayangkan saja, kalau KTP yang harus diverifikasi itu jumlahnya jutaan. Tak terbayangkan kalau penduduk yang akan dirverifikasi tersebar di ribuan pulau seperti di Maluku dan Kepri. Sungguh, memakan waktu yang panjang dan penuh "perjuangan" melaksanakannya.

Biayapun akan luar biasa banyaknya. Dimana akan ada dua jenis biaya, yaitu verifikasi aktual plus biaya pelaksanaan pilkada itu sendiri. Tahun 2015 lalu, biaya pilkada untuk 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota sebesar Rp 7,1 triliun. Tidak semua daerah punya calon independen, hanya daerah yang penduduknya dibawah 500 ribu saja.

Perlu dipikirkan persyaratan yang lebih sederhana, tidak menghabiskan uang negara dan tidak buang waktu untuk calon independen maupun KPUD. Bagaimana caranya ?

Di Negara Maju, Tak Mau Menyerahkan "KTP"

Di negara negara maju, termasuk Malaysia, calon independen tak perlu menyerahkan foto kopi KTP atau ID dukungan. Kenapa? Karena KTP atau ID tersebut bisa disalahgunakan. Di antaranya untuk minta bantuan ke negara (biasanya minta tunjangan makanan atau keuangan). Di negara kita, alasannya serupa, tapi tak sama persis.

Untuk negara kita, ada cara dalam menyederhanakan proses menjadi calon independen. Bukan hanya akan mengurangi biaya dan waktu, bahkan "berpotensi" sebagai pemasukan negara. Caranya sebagai berikut:

1. Setiap calon independen dikenakan biaya, katakanlah Rp1 milyar untuk calon bupati atau walikota, 10 milyar untuk calon gubernur, dan 100 milyar untuk calon presiden.

2. Untuk mengantisipasi calon yang "terlalu banyak," bisa dibatasi dengan 10 calon paling tinggi menyumbang ke kas negara akan terpilih menjadi calon independen. 

Hitung hitung sederhananya, kalau ada katakanlah 100 calon independen di kabupaten dan kota, maka dari 416 kabupaten dan kota yang ada di Indonesia, negara akan punya pemasukan sekitar Rp41,6 Triliun. Hitung saja sendiri kalau ada 100 calon gubernur dan 100 calon presiden independen. Ratusan triliun potensi pemasukan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun