Pertama, perlu diacungi jempol “langkah” Bupati Bintan, Kepri (Kepulauan Riau) dan wakilnya (Apri Sujadi dan Dalmasri Syam) dalam mengatasi problema agkutan kapal laut masyarakat Tambelan, kecamatan terluar dari Kabupaten Bintan, Kepri. Sekarang sudah ada minimal 4 (empat) Kapal, yaitu KM Sabuk Nusantara 30, 39, 59, dan 62 yang menyinggahi kecamatan Tambelan. Rute Kapal termasuk dari propinsi Kepri dan Kalbar (Kalimantan Barat), atau sebaliknya.
Sebelum Bupati Bintan yang sekarang (periode 2015-2020), bisa 2 bulan sampai 4 bulan tanpa ada angkutan Kapal laut, sehingga menyebabkan kecamatan Tambelan yang sudah terisolasi, menjadi terisolasi total. Efek domino dari angkutan kapal adalah tak adanya onderdil berbagai fasilitas umum, seperti mesin listrik, menara telphon, dan peralatan puskesmas yang bisa dikirim dari kabupaten atau propinsi. Bahkan punya efek luas terhadap jalannya administrasi pemerintahan dan sosial ekonomi masyarakat.
Kondisi transportasi laut yang sudah “membaik” ini agar terus bertahan, atau semakin bertambah baik di tahun tahun mendatang. Ide agar Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) terjun ke sektor transportasi laut patut disambut baik. Mari kita dorong Camat Tambelan yang sekarang, Akhyarudin bersama jajaran kepala desa dan lurah untuk segera mewujudkannya.
Minimal “celah” bisnis saat bulan Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha dan tahun baru bisa dijadikan peluang untuk menangkap keuntungan. BUM-Des untung, rakyatpun senang. Kasus beratus ratus penumpang yang tak dapat angkutan hari raya diharapkan takkan terulang kembali.
Terang Yang Tak Pernah Terbit
Semenjak ada PLN di Kecamatan Tambelan tahun 1990, berarti sudah 27 tahun, listrik hanya ada di waktu malam (12 jam saja). Tapi yang 12 jam itupun tak selalu penuh sepanjang tahun, Karena selalu saja “pemadaman” listrik terjadi. Malampun gelap gulita, balik ke jaman pra-PLN. Menyedihkan lagi, gelap gulita itu bisa sampai berbulan bulan. Alasannya selalu sama sepanjang 27 tahun, yaitu : mesin rusak dan kehabisan bahan bakar.
Kondisi listrik yang lebih banyak mati daripada hidupnya, bukan hanya menyebabkan keprihatinan masyarakat di Tambelan, tapi semua masyarakat Tambelan perantau di manapun berada merasa “geram.” Sampai sampai dalam sebuah acara halal bi halal, Djumadi Yahya, ketua Kerukunan Keluarga Tambelan (KKT) di Tanjung Pinang menghidupkan lampu petromax sebagai bentuk “protes.”
Anehnya, sekarang malah ada “rasionalisasi,” dimana tiap per-dua malam, ada satu malam hanya hidup 6 jam. Artinya malam pertama dan kedua listrik hidup 12 jam, malam ketiga hanya hidup 6 jam. Kemudian kembali ke malam pertama, kedua dan ketiga. Begitu seterusnya. Meskipun sudah dibuat “rasionaliusasi” seperti ini, bisa saja listrik padam berminggu minggu dengan alasan alasan klise.
Solar Panel: Kenapa Tidak Dicoba?