Mohon tunggu...
Mu'izzuddin Dzulhakim
Mu'izzuddin Dzulhakim Mohon Tunggu... -

mu'izzuddin dzulhakim yang akrab dipanggil izzu ato mu'izz adalah mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang, yang berkosentrasi pada ekonomi politik internasional... izzu aktif dalam kepengurusan kampus dari HMJ H.I hingga kepengurusan BEM FISIP menghayati fenomena-fenomena kontemporer adalah hal yang menjadi ketertarikan sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Money

Eksistensi UKM Indonesia: Mampukah Memanfaatkan Liberalisasi China?

23 Desember 2010   08:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:28 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Selama beberapa dekade terakhir system internasional lebih banyak didominasi oleh isu-isu ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah menjadikan kawan dan lawan sebagai competitor. Secara tidak langsung, globalisasi ekonomi juga mendorong meningkatnya tren regionalism dan pembentukan Free Trade Agreement (FTA) baik yang bersifat bilateral maupun perjanjian FTA dalam bentuk trading bloks. Meningkatnya upaya integrasi ekonomi kawasan dapat pula dikatakan sebagai respon menghadapi dampak dampak negative globalisasi.

Setelah system ekonomi internasional mengalami revolusi financial di era 1970-an yang ditandai dengan semakin bebasnya arus modal lintas Negara, telah terjadi setidaknya empat kali krisis financial yang menjadi perhatian para ekonomi internasional. Krisis hutang Amerika Latin di era 1970-1980, kegagalan European Rate Mechanism sekitar tahun 1992, jatuhnya nilai tukar peso Meksiko tahun 1994, dan terakhir krisis Asia 1997 yang menyebabkan beberapa Negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara mengalami stagnasi pembangunan dan deindustrialisasi. Bagi kawasan Asia Tenggara, krisis ekonomi 1997 menjadi pelajaran berharga yang meningkatkan kesadaran terhadap adanya mekanisme saling ketergantungan dalam kompleksitas system internasional. Dan wacana pembentukan integrasi ekonomi di ASEAN pun semakin menguat pasca guncangan krisis ASIA 1997 tersebut.

Globalisasi ekonomi identik dengan paham liberalism yang mempromosikan konsep free trade dan interdependensi. Globalisasi dapat diindikasikan dengan berkembangnya kebebasan arus modal, percepatan alih tekhnologi, dan maraknya perkembangan industry telekomunikasi yang pada akhirnya membentuk komunitas masyarakat transnasional dimana batas-batas teritorial negara bukan lagi penghalang untuk mengadakan interkasi, terutama interaksi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Pada satu sisi, globalisasi memang membuka kesempatan bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk mendapatkan akses pasar, teknologi, dan informasi dari Negara-negara yang lebih maju. Namun disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi juga meningkatkan kompetisi, bukan hanya kompetisi antara kelompok Negara maju dan berkembang, tetapi juga antara sesama negara berkembang. Liberalisasi dan globalisasi telah menjadikan kawan dan lawan sebagai competitor. Oleh karena itu, di era globalisasi ini, keberadaan dan peran negara tetap dibutuhkan untuk memelihara perekonomian dalam negeri.

Terkait dengan liberalisasi ekonomi China, China sebelum tergabung dalam ACFTA, negara yang dikenal dengan sebutan Tirai Bambu terlebih dahulu tergabung dalam organisasi WTO sebagai salah satu bukti ambisi China dalam melakukan liberalisasi ekonominya. Awal November 2001 dalam pertemuan para menteri anggota WTO di Qatar, China resmi diterima sebagai anggota ke-141 dan berlaku efektif mulai 1 Januari 2002, maka dengan itu bergabungnya China ke dalam organisasi WTO percaturan keseimbangan dan investasi internasional mengalami tahap baru. Dengan masuknya China sebagai keanggotaan WTO berarti mengikat China untuk melakukan reformasi kelembagaan searah dengah aturan internasional dalam berbagai bidang, mulai dari akses pasar: penurunan bea masuk atas barang-barang manufaktur, liberalisasi saluran distribusi, dan lain-lain kebijakan.

Setelah sukses bergabung sebagai anggota WTO, China untuk mempermudah liberalisasi ekonominya di kawasan Asia, China mengajukkan proposal agar bisa tergabung dalam AFTA. sehingga berdasarkan Persetujuan Perdagangan Bebas yang ditanda­tangani China dan ASEAN, maka sejak tanggal 1 Januari tahun 2010, China dan enam negara ASEAN yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand telah menghapuskan tarif perdagangan. Sementara itu, pasar jasa dan investasi kedua pihak juga akan dibuka secara berturut-turut. Pembentukan Kawasan Per­dagangan Bebas ASEAN-China ini akan mendorong lebih lanjut kerja sama saling menguntung­kan antara perusahaan-perusa­haan di kedua negara disamping juga meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan tersebut di pasar internasional. Dibandingkan dengan sebelum dibentuknya kawasan perdagangan bebas, hubungan ekonomi dan dagang kedua negara sekarang ini mencapai perkembangan yang sangat jauh. Kerjasama perusahaan kedua pihak dalam kerangka Kawasan Perdagangan Bebas ini telah membawa keuntungan yang berarti bagi kedua pihak. Mening­katnya pertukaran dan kerjasama di bidang iptek dan produksi, te­lah membantu perusahaan kedua pihak untuk menghadapi pasar internasional dengan tenang.

Dengan terbentuknya persetujuan perdagangan di regional Asia, China yang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat memainkan perannya sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia tenggara khususnya. China yang tergabung melalui perjanjian ACFTA (China-ASEAN Free Trade Area) memanfaatkan ACFTA sebagai tools untuk melakukan liberalisasi ekonominya. Produk-produk impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun. Sebaliknya, Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar dalam negeri negara-negara ASEAN dan Cina.

UKM sebagai stabilisator ekonomi nasional, mendapat tantangan yang lebih berat dengan adanya ACFTA. Melalui ACFTA, China lebih leluasa melakukan liberalisasi perdangangan ke pasar domestik Indonesia. Menginggat peran UKM dalam pembangunan nasional tidak dapat diremehkan, seperti halnya yang dikemukakan oleh Stiglitz bahwa usaha kecil seringkali berperan sebagai tulang punggung kehidupan masyararkat.Kita bisa lihat keberadaan usaha kecil di tanah air kita memang mewakili hampir seluruh unit usaha di berbagai sektor ekonomi yang hidup dalam perekonomian kita, karena jumlahnya yang amat besar. Sampai saat ini usaha kecil mewakili sekitar 99,05 % dari jumlah unit usaha yang ada, sedangkan usaha menengah sebesar 0,14% saja, sehingga usaha besar hanya merupakan 0,01%. Dengan demikian corak perekonomian kita ditinjau dari subyek hukum pelaku usaha adalah ekonomi rakyat yang terdiri dari usaha kecil di berbagai sektor, terutama sektor pertanian dan perdagangan maupun jasa serta industry pengolahan dan sebagian besar diantara mereka adalah usaha mikro.

Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini pasca krisis, pengembangan kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) dianggap sebagai satu alternatif penting yang mampu mengurangi beban berat yang dihadapi perekonomian nasional dan daerah. Argumentasi ekonomi dibelakang ini yakni karena UKM merupakan kegiatan usaha dominan yang dimiliki bangsa ini. Selain itu pengembangan kegiatan UKM relatif tidak memerlukan kapital yang besar dan dalam periode krisis selama ini UKM relatif”tahan banting", terutama UKM yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertanian.

Berhasil atau tidaknya sector UKM nasional dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan sector UKM dalam meningkatkan daya saing serta membangun kapabilitas UKM yang selaras dengan mekanisme liberalisasi perdagangan. Dari hemat penulis, pada dasarnya Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan dampak positif dari penerapan ACFTA yang dimanfaatkan oleh China dan arah kebijakan pemerintah Indonesia belum dapat mendorong pengembangan sector UKM dalam negeri secara optimal, sehingga kondisi sector UKM dalam negeri saat ini belum sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing secara internasional, terutama dalam menghadapi liberalisasi China melalui ACFTA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun