Mohon tunggu...
Muhamad WafaRidwanulloh
Muhamad WafaRidwanulloh Mohon Tunggu... Editor - Editor Buku Lini Agama di Penerbit Republika (PT. Pustaka Abdi Bangsa)

Anak kampung dari Tasikmalaya yang memiliki motto hidup di mana bumi dipijak, di sana mesti terus menebar manfaat. Semasa kuliah, aktif di dunia buku dan kini berprofesi sebagai seorang yang sehari-hari bersama buku (editor). Motivasi utama menulis, ingin mengabadikan gagasan yang mudah-mudahan dapat terus menebar kebermanfaatan. Terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menilik Kembali Peringkat Literasi Indonesia, Benarkah Kita Bangsa Aliterat?

29 Maret 2023   12:50 Diperbarui: 29 Maret 2023   12:55 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan pertama di Kompasiana saya mulai dengan bidang yang selama ini saya minati, literasi. Sebagian orang sudah tidak asing dengan kata literasi, karena mudah dijumpai dalam beberapa kesempatan, terutama di media sosial. Namun, tidak sedikit pula yang belum memahami atau bahkan mengetahui apa dan bagaimana literasi. 

Membahas literasi mungkin menjadi isu klasik yang sejak dulu sering diperbincangkan, namun tidak pernah mencapai klimaks hingga benar-benar bangsa kita dianggap sebagai bangsa literat. Mengapa demikian? Coba kita amati, beberapa survey internasional merilis angka atau data peringkat indeks literasi di Indonesia. Saya ambil dua contoh, dari data beberapa tahun terakhir.

Pertama, survey dilakukan oleh  Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2018 dalam Program for International Student Assessment (PISA). Dalam survey itu, angka indeks literasi Indonesia ada di bagian negara paling "cacat" literasinya. Indonesia menduduki posisi ke 71 dari 77 negara dengan indeks nilai 382.0. 

Mengerikan, tidak sampai di angka 10 besar terbawah. Bahkan jauh dari negeri Jiran Malaysia yang menduduki urutan 48 dengan indeks nilai 431.0. Lebih jauh lagi jika dibandingkan Singapura yang 'nongkrong' di urutan kedua di bawah China dengan indeks nilai 556.3. Singapura menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang 'paling literat' berdasarkan survey ini. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang 'paling aliterat' karena bercokol di peringkat 10 terbawah.

Kedua, organisasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) juga merilis survey tersendiri. Menurut Unesco, penduduk Indonesia memiliki minat baca 0,001 persen. Bayangkan, hanya ada 1 dari 1000 orang di Indonesia yang gemar/minat membaca. Terlepas dari bagaimana konsep minat membaca itu, angka ini lagi-lagi menunjukkan rasa miris. Kita sebetulnya tidak ingin memperdebatkan minat baca seseorang seperti apa seharusnya, namun kondisi lain juga berbanding terbalik dimana Masyarakat Indonesia bisa menatap layar kurang dari 9 jam sehari (data we are social, 2017).

Kedua survey tersebut menunjukkan Indonesia selalu 'dicap' sebagai negara yang masyarakatnya tidak literat dalam bahasa lebih kasar adalah 'bodoh' atau 'tidak memiliki wawasan'. Sebab, literasi adalah dasar dari kecerdasan manusia, baik intelegensi, emosional, maupun spiritual. Terlepas mungkin survei terbaru di tahun 2022 atau 2023 indeksnya mengalami tren kenaikan, Indonesia tetap selalu berada di posisi terendah, paling tidak 10 besar terbawah. Kita dapat mengamati kembali hasil survei ini melalui dua sudut pandang yang berbeda. 

Di satu sisi, perlu kita akui bahwa orang Indonesia malas membaca, terbukti dengan banyaknya kasus hoax di media sosial, menurut Kominfo bahkan ada 800.000 situs penyebar hoax di Indonesia. Salah satunya, bukan tidak mungkin adalah karena kemampuan membaca dan menganalisa orang Indonesia memang tidak terlalu tinggi. Selanjutnya, total bahan bacaan dengan jumlah penduduk memiliki rasio 0.09, artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun. Jauh dari standar Unesco dengan 3 buku baru setiap orang per tahunnya.

Namun, dalam hemat pemikiran saya, rasanya kita tidak perlu pesimis dengan hasil survey di atas. Bangsa Indonesia sejatinya adalah bangsa yang nenek moyangnya adalah pemikir ulung. Nenek moyang kita telah mengenal aksara puluhan abad yang lalu jauh sebelum bangsa lain mengenal aksara. Buktinya, ada banyak aksara peninggalan leluhur kita seperti aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Bugis, aksara Lampung, dan masih banyak lagi. Kita juga akan kagum saat mengetahui leluhur bangsa Indonesia sudah mampu membuat sebuah konstruksi candi yang bisa berdiri kokoh hingga saat ini. 

Tahun 2014 lalu, peneliti Australia dan Indonesia menemukan lukisan tangan di daerah Leang Timpuseng, Sulawesi yang berusia 39.900 tahun. Penemuan itu sekaligus menggeser rekor dunia lukisan tertua yang sebelumnya melekat pada Lukisan El Castillo Spanyol yang diperkirakan berusia 37.300 tahun. Lukisan purba itu sekali lagi menjadi modal utama bangsa kita mengenal literasi sejak dahulu.

Bangsa kita juga merupakan bangsa besar, dengan tokoh-tokoh perjuangan yang mendunia. Sebut saja Ir. Soekarno yang namanya berhasil menjadi trending topic dunia kala itu atas prestasinya yang bahkan ia dikenal sebagai singa podium. Tidak kalah dari itu, kebudayaan Nusantara juga banyak yang memberikan pengaruh pada dunia secara luas, ada batik, angklung, wayang, tarian-tarian tradisional, dan masih banyak lagi bukti nyata bahwa Indonesia bukan negara aliterat, Indonesia adalah negara dengan bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan luas. Maka, dari sisi ini rasa-rasanya kita tidak boleh pesimis dengan hanya meyakini survei Internasional yang penilaiannya tidak komprehensif dan menyeluruh. Survey tersebut juga nyatanya tidak lepas dari kepentingan politik dunia yang berlomba-lomba menjadi negara adidaya atau adikuasa.

Dari dua sisi yang saya paparkan, seyogyanya kita bisa lebih baik lagi berproses dalam memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan sekian banyak kelebihan yang bangsa kita miliki, sepantasnya kita optimis bahwa Indonesia akan menjadi negara maju dengan masyarakatnya yang literat. Namun, di lain sisi kita juga harus berhati-hati dan terus bergerak menyebarkan pentingnya pendidikan dan literasi agar masyarakat lebih peduli. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun