Kurang dari setahun, pemilu 2024 akan digelar. Setiap penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) menyiapkan target dan strategi dalam upaya keberhasilan pelaksanaan pemilu 2024. Salah satu indikator keberhasilan pemilu adalah tingginya partisipasi pemilih. Meningkatnya partisipasi pemilih juga menjadi ukuran kepercayaan publik terhadap negara, terutama lembaga pemilihan umum .
Bila berkaca pada tahun 2019, angka partisipasi masyarakat pada pemilu mengalami peningkatan signifikan, bahkan melampaui target nasional yang ditetapkan KPU saat itu sebesar 77,5 %. Dilansir dari kompas.com (27/05/2019), partisipasi pemilih di pemilu 2024 meningkat menjadi 81 %. Â Angka ini tentu menunjukan keberhasilan para penyelenggara pemilu dan masih kuatnya kepercayaan publik bahwa mekanisme demokrasi inilah yang diyakini akan mampu memilih pemimpin terbaik di negeri ini.
Bagaimana dengan pemilu 2024? Survei Populi Center tanggal 13 Februari 2023 menyatakan bahwa KPU menduduki peringkat ke -- 3 sebagai 5 (lima) lembaga negara dengan tingkat kepercayaan publik paling tinggi dengan nilai 67,0%. Dari survei kepercayaan publik tentu tidak timbul keraguan bagi KPU untuk menetapkan target 81% partisipasi pada pemilu 2024.
Pencapaian target partisipasi pemilih pada pemilu 2024 tentu memiliki tantangan yang beragam dan kompleks. Permasalahan tersebut seperti; sosialisasi pemilu yang harus terus ditingkatkan, kondisi geografis, ancaman golput, hingga bagaimana strategi KPU merangkul pemilih milenial. Konteks tulisan ini lebih menekankan pada strategi KPU dalam merangkul pemilih milenial untuk menggunakan hak suaranya pada pemilu 2024.
Dikutip dari liputan6.com (26/09/2022), data dari Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan pemilu 2024 akan didominasi kaum milenial, angkanya mencapai 60%. Para pemilih dari kaum milenial ini adalah mereka yang memiliki usia 17 -- 39 tahun atau mereka yang lahir pada tahun 1981 hingga 2007.
Pemilih generasi milenial ini tentu memiliki karakteristik berbeda terhadap pandangan politiknya dibanding generasi di atasnya, Gen X dan Baby boomers. Pemilih milenial memiliki karakteristik yang khas yaitu digital native. Mereka tumbuh dan berkembang di dunia digital. Memiliki keingintahuan yang tinggi, rasa percaya diri, dan selalu mempertanyakan otoritas atau kekuasaaan dengan segala kewenangannya, bila generasi tersebut melihat keburukan atau ketidaksesuaian informasi, hak, kewajiban atau lainnya yang mereka terima berbeda dengan sebenarnya.
Dalam konteks pemilu, pemilih milenial mengerti tentang berbagai isu politik bangsa. Melalui jejaring media sosial, mereka mengakses informasi begitu luas dari berbagai sudat pandang. Kondisi ini juga menjadi dasar dalam penyikapan mereka terhadap isu-isu politik. Narasi-narasi dalam media sosial maupun referensi digital tentu bisa kontraprodutif dengan partisipasi pada pemilu. Banyak berita hoaks, ujaran kebencian, isu SARA, maupun konten-konten provokatif untuk melakukan golput dalam pemilu 2024. Inilah tantangannya.
Bila kondisi tidak diantisipasi dengan baik, target partisipasi pemilu 2024 menjadi berat. Kepercayaan pada lembaga pemilu berkurang dan muaranya kepercayaan publik akan berkurang pada pemerintah.
Berita ataupun informasi dari media sosial begitu cepat. Hanya dengan mendetikan jari, kam milenial tidak jarang langsung membagikan pada teman maupun komunitasnya. Mereka tidak mengverifikasi maupun mengkonfirmasi terlebih dahulu kebenaran informasi tersebut. Berita atau informasi diterima dengan mentah-mentah, tidak dicerna, tapi langsung dibagikan dengan lain. Kondisi inilah yang sangat mengkhawatirkan. Terlebih bila informasi tersebut jadi pijakan atas tindakannya.
Dalam konteks permasalahan di atas tentu harus kita antisipasi terkait permasalahan golput. Kondisi pemilih untuk tidak ikut menyuarakan dalam pemilu. Bila isu golput massif, bukan tidak mungkin, capaian target partisipasi dalam pemilu 2024 akan susah terwujud. Permasalahan ini tentu harus segera diwaspadai dan perlu tindakan antisipatif agar dampak tersebut tidak merugikan penyelenggaraan pemilu.
KPU tentunya menyiapkan strategi khusus bagi kaum milenial dalam upaya meningkatkan partisipasi pemilih, sehingga ancaman golput bisa ditekan. Hal ini tentu harus dilakukan pada semua tingkatan. Mulai dari KPU pusat, provinsi, kabupaten, hingga panitia Adhoc, termasuk pantarlih, KPPS, maupun para relawan.
Berdasar pengamatan saya, keberadaan  KPU harus lebih dari sekedar event organizer. Pengelola kegiatan yang aktif mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Lembaga ini harus aktif, melakukan  pendekatan pada masyarakat, mengajak ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan pilihannya.
Kaum milenial acuh bahkan apatis terhadap pemilu, bisa jadi karena mereka tidak pernah duduk bersama mendiskusikan kehidupan demokrasi bangsanya. Mereka hanya menerima secuil kertas undangan untuk datang ke TPS. Saya melihat sajauh ini belum ada di tingkatan bawah (badan adhoc) memiliki dampingan dengan komunitas milenial tertentu, memberi pemahaman tentang kepemiluan dan mengajak partisipasi secara aktif dalam pemilu.
Paradigma ini tentu perlu diubah, terlebih ketika KPU memiliki target partisipasi pemilih. KPU harus aktif mensosialisasikan, menghimpun, maupun melakukan propaganda mengajak untuk datang ke TPS. Spanduk, baligo, maupun pamflet dengan materi tahapan pemilu maupun waktu pemilihan tentu saja tidak cukup untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Pendekatan pada berbagai komunitas menjadi hal yang perlu dilakukan agar kaum milenial sadar politik dan mau menggunakan hak suaranya.
Pemilu yang menggerakan adalah solusi bagi permasalahan pada pemilih milenial. Konsep pemilu yang menggerakan ini lebih menekankan pada jajaran penyelenggara pemilu hingga tingkat bawah untuk masuk pada sebuah komunitas milenial. Memberikan pemahaman dan mengajak berperan aktif dalam pemilu.
Penyelenggara pemilu adalah agen, memiliki ketersediaan juga berkewajiban menyebarkan pada masyarakat. Agen harus secara aktif membaurkan diri dengan komunitas-komunitas di masyarakat. Memberikan asupan nutrisi kepemiluan dalam setiap agenda komunitas maupun masyarakat luas. Menciptakan ruang publik yang ramah, demokratis, dan secara aktif menyuarakan peran pentingnya generasi milenial pada pemilu di berbagai kanal dan media.
Konkretnya, setiap lembaga pemilu (adhoc) di tingkat desa/kecamatan berperan; (1). Melakukan pendampingan atau menjadikan organisasi bayangan bagi sebuah komunitas milenial di wilayahnya untuk menjadi agen pemilu; (2) Bersama dengan komunitas tersebut menciptakan ruang publik yang ramah bagi generasi milenial serta suasana yang demokratis; (3) Menciptakan ruang diskusi seputar hobi/minatnya; (4) Bersama melakukan kampanye pemilu di wilayahnya.
Keterlibatan generasi milenial akan memberikan penghargaan bagi mereka. Pemilu tidak hanya milik segelintir individu, kelompok, penyelenggara, partai politik, ataupun golongan tertentu. Pemilu adalah milik bersama. Siapapun di negeri ini berhak merayakan pesta demokrasi. Inilah kunci pemilu yang menggerakan, keterlibatan publik.
Napoleon Bonaparte mengatakan seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan. Generasi milenial hari ini yang akan menjemput Indonesia Emas 2045. Mereka tidak hanya sebagai agen, tapi juga pemimpin di masa yang akan datang. Mereka menghimpun gagasan yang terserak dan mentrasformasikan pada masyarakat.
Pemilu yang menggerakan bisa efektif manakala partisipasi pemilih meningkat. Peningkatan ini tentunya dibarengi dengan kecerdasan dalam menentukan pilihannya. Kecerdasan ini yang selanjutnya mengarah pada kedewasaan politik. Kedewasaan berpolitik akan menciptakan kehidupan demokratis, sehingga pemilu mampu melahirkan para pemimpin bangsa yang amanah mewujudkan Indonesia adil dan makmur.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H