Berdasar pengamatan saya, keberadaan  KPU harus lebih dari sekedar event organizer. Pengelola kegiatan yang aktif mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Lembaga ini harus aktif, melakukan  pendekatan pada masyarakat, mengajak ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan pilihannya.
Kaum milenial acuh bahkan apatis terhadap pemilu, bisa jadi karena mereka tidak pernah duduk bersama mendiskusikan kehidupan demokrasi bangsanya. Mereka hanya menerima secuil kertas undangan untuk datang ke TPS. Saya melihat sajauh ini belum ada di tingkatan bawah (badan adhoc) memiliki dampingan dengan komunitas milenial tertentu, memberi pemahaman tentang kepemiluan dan mengajak partisipasi secara aktif dalam pemilu.
Paradigma ini tentu perlu diubah, terlebih ketika KPU memiliki target partisipasi pemilih. KPU harus aktif mensosialisasikan, menghimpun, maupun melakukan propaganda mengajak untuk datang ke TPS. Spanduk, baligo, maupun pamflet dengan materi tahapan pemilu maupun waktu pemilihan tentu saja tidak cukup untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Pendekatan pada berbagai komunitas menjadi hal yang perlu dilakukan agar kaum milenial sadar politik dan mau menggunakan hak suaranya.
Pemilu yang menggerakan adalah solusi bagi permasalahan pada pemilih milenial. Konsep pemilu yang menggerakan ini lebih menekankan pada jajaran penyelenggara pemilu hingga tingkat bawah untuk masuk pada sebuah komunitas milenial. Memberikan pemahaman dan mengajak berperan aktif dalam pemilu.
Penyelenggara pemilu adalah agen, memiliki ketersediaan juga berkewajiban menyebarkan pada masyarakat. Agen harus secara aktif membaurkan diri dengan komunitas-komunitas di masyarakat. Memberikan asupan nutrisi kepemiluan dalam setiap agenda komunitas maupun masyarakat luas. Menciptakan ruang publik yang ramah, demokratis, dan secara aktif menyuarakan peran pentingnya generasi milenial pada pemilu di berbagai kanal dan media.
Konkretnya, setiap lembaga pemilu (adhoc) di tingkat desa/kecamatan berperan; (1). Melakukan pendampingan atau menjadikan organisasi bayangan bagi sebuah komunitas milenial di wilayahnya untuk menjadi agen pemilu; (2) Bersama dengan komunitas tersebut menciptakan ruang publik yang ramah bagi generasi milenial serta suasana yang demokratis; (3) Menciptakan ruang diskusi seputar hobi/minatnya; (4) Bersama melakukan kampanye pemilu di wilayahnya.
Keterlibatan generasi milenial akan memberikan penghargaan bagi mereka. Pemilu tidak hanya milik segelintir individu, kelompok, penyelenggara, partai politik, ataupun golongan tertentu. Pemilu adalah milik bersama. Siapapun di negeri ini berhak merayakan pesta demokrasi. Inilah kunci pemilu yang menggerakan, keterlibatan publik.
Napoleon Bonaparte mengatakan seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan. Generasi milenial hari ini yang akan menjemput Indonesia Emas 2045. Mereka tidak hanya sebagai agen, tapi juga pemimpin di masa yang akan datang. Mereka menghimpun gagasan yang terserak dan mentrasformasikan pada masyarakat.
Pemilu yang menggerakan bisa efektif manakala partisipasi pemilih meningkat. Peningkatan ini tentunya dibarengi dengan kecerdasan dalam menentukan pilihannya. Kecerdasan ini yang selanjutnya mengarah pada kedewasaan politik. Kedewasaan berpolitik akan menciptakan kehidupan demokratis, sehingga pemilu mampu melahirkan para pemimpin bangsa yang amanah mewujudkan Indonesia adil dan makmur.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H