"Kalau pengabdian pada anak-anak sudah maksimal, kami orang-orang dewasa dan orang tua baru memperoleh haknya". Emha Ainun Nadjib
Kutipan yang tertulis dalam buku "Pemimpin yang "Tuhan" bisa memberikan penafsiran gambaran realitas politik di negeri kita. Para politisi yang umumnya sudah dewasa seakan sudah mengabdikan diri untuk anak muda, kemudian mencoba memperoleh haknya. Menarik simpati agar mereka terpilih nantinya.Â
Pemilu 2024 meski menyisakan dua tahun lagi, namun tidak sedikit parpol yang sudah menetapkan target suara. Pencapaian ambang batas parlemen (Parliamentary threshold) menjadi hal yang tidak bisa terelakan manakala partai ingin tetap eksis. Tak sedikit partai yang jauh-jauh hari sudah gencar berkampanye dan sangat massif beriklan politik, namun, belum bisa mendulang suara penuh dan menempatkan wakilnya di parlemen. Banyak parpol juga yang hari ini sudah menyiapkan berbagai strategi untuk melakukan pendekatan pada generasi milenial.
Menurut Beresfod Research, generasi milenial adalah mereka yang terlahir di tahun 1981-1996 sedangkan Gen Z, pada angka kelahiran 1997-2012. Namun, Gen Z ini sering dikategorikan Milenial. Salah satu karakteristiknya digital native, yaitu kemampuan untuk menggunakan teknologi komputer dan smartphone. Generasi ini cenderung mandiri, dan tidak lagi harus bergantung pada orang lain. Semua permasalahan diyakini akan terpecahkan melalui teknologi dan internet. Â
Berdasarkan data pemilih 2019, pemilih pada generasi milenial sebesar 40% dari jumlah secara keseluruhan Sangat siginifikan bila parpol berhasil merangkul pemilih ini. Namun, hal itu juga tidak mudah dilakukan karena memang karakteristiknya yang cenderung mandiri dan sangat piawai mengoperasikan gawai. Lantas, bagaimana merangkul pemilih generasi ini?
Masih dalam buku "Pemimpin yang "Tuhan", ada sebuah analogi ditulis "kalau ada gempa bumi, rumah kalian ambruk, semua hancur, lantas saya membawa pakaian dan makanan, tapi hanya boleh milih satu karena harus berbagi". Seratus persen anak-anak memilih pakaian. Tidak pernah terpikir oleh mereka bisa makan, namun tidak berpakaian atau telanjang.
Berbeda, bila kita bertanya pada orang yang sudah tua. Maka, mereka cenderung memilih makanan. Artinya, kekayaan maupun jabatan selalu menjadi prioritas dalam hidupnya. Kiprahnya di politik menjadi pilihan mereka untuk melakukan upaya-upaya mengkayakan diri sendiri, dan tidak malu meski merebut hak orang lain. Tidak sedikit politisi yang melakukan hal demikian.
Dari analogi di atas, kita menjadi tahu, mana para elit politik yang mendasarkan tindakan pada kekayaan dan jabatan serta mereka yang memperjuangkan rakyatnya. Kita akan tahu juga politisi mana yang hanya ingin sebuah kepentingan kekuasaan dan memperkaya diri saja.
Perilaku demikian tidak memberikan pengabdian penuh pada anak. Berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan selalu diberitakan di media. Anak-anak pun akan melihat, berpikir, dan membuat sikap. Apakah mereka masih berhak atas apa yang diabdikan selama ini? Setiap lima tahun meminta hak suara kami, tapi tidak ada pengabdian di dalamnya.
Berbeda dengan pilihan anak-anak, apa yang diinginkan? Pakaian. Artinya, mereka malu bila harus telanjang. Budaya malu sangat tinggi. Termasuk untuk melakukan hal-hal yang dilarang dengan tujuan untuk memperkaya diri. Mereka tidak mau menggunakan berbagai cara untuk makan, namun, akhirnya harus malu dengan apa yang dilakukannya.
Hal mendasar yang harus dilakukan parpol dalam pendekatan pada generasi milenial adalah menempatkan para kader yang memiliki pemahaman sama dengan generasi milenial. Pokoknya "satu frekuensi". Bila partai politik tidak melakukan kaderisasi dengan baik, pasti akan ditinggal kaum milenial.**