Mohon tunggu...
Muhtolib
Muhtolib Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di STAI Nurul Iman Parung Bogor

Nama Muhtolib, Dipanggil tholib, berasal dari desa Luweng Kidul, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. sekarang tinggal di Parung Bogor Jawa Barat. Riwayat pendidikan SDN Luweng Lor (2000), MTs Ma'arif NU Pituruh (2003), MAN Purworejo (2006), STAI Nurul Iman (2011), S2 Institut PTIQ Jakarta (2018), S3 Beasiswa LPDP-Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal 2023 (Univ. PTIQ Jakarta), hoby traveling.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelisik Filosofi Punggahan dan Ruwahan sebagai Tradisi Menyambut Ramadhan

9 Maret 2023   11:30 Diperbarui: 9 Maret 2023   11:34 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi religi di Indonesia sangatlah banyak dan beragam, ada yang dijelaskan dalam dalil Al-Qur'an dan Hadis, ada juga yang tidak dijelaskan atau dilakukan oleh Nabi baik secara eksplisit maupun implisit, namun tradisi tersebut sangatlah baik untuk di budayakan. Bulan Sya’ban di masyarakt Indonesia dikenal dengan istilah bulan Ruwah. Pada bulan ini ada tradisi yang dijaga kelestariaannya sampai sekarang dan masih dijalankan di tengah-tengah masyarakat. Sebagian mengistilahkan tradisi ini sebagai arwahan, nyekar (Jawa Tengah), kosar (JawaTimur), munggahan (sekitar tatar Sunda) dan lain sebagainya. Sebagai tardisi disamping untuk menyambut bulan suci Ramadahan, pada bulan ini juga masyarakat datang kekuburan untuk ziarah dan membersihkan kuburan. Orang mengenalnya sebagai tradisi Ruwahan (Arwahan), yakni tradisi yang berkaitan dengan pengiriman arwah orang-orang yang telah meninggal dengan cara dido’akan bersama dengan mengundang tetangga dan kerabat.  Istilah Ruwahan berasal dari kata Ruwah, nama Jawa untuk bulan kedelapan dalam kalender Islam, dalam Islam disebut bulan Sya’ban, tetapi istilah tersebut merupakan berasal dari bahasa Arab ruh (arwah), yang bermakna jiwa atau roh. Oleh karena itu, orang Jawa mengambil bulan Sya’ban sebagai waktu yang diperuntukkan bagi masyarakat sebagai acara khusus untuk mengingat kematian. Tradisi ruwahan juga merupakan sebuah tradisi sebagai bentuk wujud rasa syukur kepada Allah SWT, tepatnya di antara tanggal 10-20 Hijriyah. Ada juga yang berpendapat, ruwahan adalah sebagai ungkapan rasa kebahagian, kegembiraan akan memasuki bulan suci Ramadhan.

Bulan Ruwah memiliki makna penting bagi masyarakat Indonesia, sebagai momentum bagi anak cucu keturunan yang masih hidup, untuk mengingat jasa dan budi baik para leluhur. termasuk orang-orang terdekat, para pahlawan, para Kyai, para habaib yang telah mendahului dan telah berjasa di masyarakat. Dengan demikian, bagi masyarakat Jawa bulan Ruwah merupakan bulan yang baik untuk berziarah. istilah Ziarah juga sering disebut “nyadran” (Sadran), dalam istilah Jawa Kuno disebut shraddha, (nama upacara Hindu-Buddha untuk orang meninggal). Tradisi ini sudah ada pada masa antara Hindu-Budha pada zaman kerajaan Majapahit perkiraan pada tahun 1284, yakni dengan menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya, sedangkan para Wali Songo mengakulturasikan nyadran dengan do’a-do’a dari al-Qur’an yang sering dinamakan di masyarakat itilah tahlilan.

Sementara sebenarnya ada beberapa istilah tradisi jawa dalam acara ruwahan seperti nisfu Sya’ban (disebut Sabanan), bersih desa, slametan, kendurenan, ziarah kubur, hingga berakhir pada acara padusan (mandi keramas) pada akhir bulan Sya’ban.  Padusan (dus-dusan) merupakan tradisi masyarakat Jawa untuk menyucikan diri, membersihkan jiwa dan raga, dalam menyambut datangnya bulan suci ramadhan. Tradisi yang merupakan warisan leluhur yang dilakukan secara turun temurun ini, dijalani dengan cara berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air. Tujuan dari padusan ini adalah agar saat Ramadhan datang, umat Islam dapat menjalani ibadah dalam kondisi suci lahir maupun batin.

Tradisi Ruwahan juga dianggap di masyarakat, sebagai bentuk kegiatan untuk bersilaturahmi sebelum bulan puasa, dengan acara Kenduren (kenduri). Biasanya, warga akan memasak dan membuat makanan-makanan khusus untuk kenduri di setiap desa (Kantor Balai Desa) dan kemudian saling dibagikan. Masing-masing warga biasanya membuat makanan seperti nasi berkat, ketan, apem, tumpeng, untuk bersama-sama mengadakan do’a dan makan Bersama. Ada juga yang mengadakan langsung dibawa ke makam leluhur dan mengadakan do’a bersama di makam. Disisi lain, Kenduri ruwahan juga banyak dilakukan di tempat ibadah seperti masjid atau mushola.

Sementara yang dimaksud istilah sebutan punggahan berasal dari kata ‘’unggah’’ yang artinya naik, yakni suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki (naik) bulan suci Ramadan, di mana umat Islam diwajibkan berpuasa. Disamping ada kata punggahan ada juga sebutan Megengan. Megengan (Megeng) yang artinya menahan, yakni menahan (megeng) untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa. Dalam tradisi megengan, banyak masyarakat saling memberi dan menerima hantaran yang isinya tiga sajian makanan, yakni, ketan, kolak dan apem. Ketiga sajian tersebut sebenarnya mengandung filosofi yang sangat mendalam.

Pertama, Ketan merupakan lafal orang Jawa dalam menyebut Khotan (dalam Bahasa arab) bermakna kesalahan. Adanya ketan, mengisyaratkan bahwa para keluarga yang datang melakukan permohonan maaf atas kesalahan para leluhurnya. Dan ketan yang teksturnya lengket merupakan simbol yang menguatkan tali silaturahmi antar sesama. Kedua, Kolak berasal dari kholaqo dan dari kata tersebut terbentuk kata kholiq atau khaliq. Dengan demikian, kolak itu sendiri bermakna bahwa manusia harus didekatkan pada Sang Khaliq. Harapan yang sama juga dimohonkan untuk para leluhur mereka. Kolak yang manis dan bersantan, maksudnya mengajak persaudaraan bisa lebih dewasa dan barokah dalam kemanisan. Ketiga, Apem berasal dari bahasa Arab ‘Affum/Alwan,yang berarti permintaan maaf baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga yang meninggal. Serta bermaksud untuk memohon ampunan dan perlindungan terhadap Allah SWT.

Dari penjelasan di atas, adanya Tradisi ruwahan atau munggahan, sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi dengan apa yang dimilikinya, mempererat tali silaturrahim, serta memberikan pelajaran indahnya kebersamaan dan kerukunan hidup. Mengandung nilai-nilai sosial dan nilai Islami, sebagai wujud persiapan kita baik secara fisik, (dhahir) dan secara batin untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Yang patut dipahami bahwa do’a dari orang yang hidup kepada orang yang mati itu bermanfaat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdo’a: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. al-Hasyr/59: 10).

Tradisi Ziarah pada bulan Ruwah ini sesungguhnya mengandung makna dan filosofi tentang keimanan kepada Allah SWT, agar dalam hidup ini mereka yang tengah hidup di dunia tetap mengingat tentang asal-usulnya dengan cara menghormati leluhur atau nenek moyang yang melahirkan kita. Sejatinya, ziarah kubur dalam agama Islam juga mengingatkan kita pada kematian.  Wallahu a’lam…!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun