Sehari-hari, kita beraktivitas dan melakukan banyak hal. Hingga saat ini, begitu banyak keputusan yang telah kita buat dan betapa banyak tindakan yang telah kita ambil. Kita sadari atau tidak, keputusan dan tindakan itu adalah hasil dari upaya kita dalam memilah-milah kenyataan (fakta, realita) dan ilusi (semu, fiksi). Contohnya, jika kita memutuskan berinvestasi pada suatu bisnis, maka hal itu karena kita yakin bahwa bisnis tersebut adalah nyata. Sebaliknya, jika ada orang yang mengaku memiliki kemampuan supranatural untuk menggandakan uang, maka kita tidak akan mendatanginya karena kita yakin itu adalah ilusi.
Memilah-milah antara hal-hal yang nyata dan ilusi seringkali tidak sesederhana contoh di atas. Suatu hal yang nyata bagi seseorang mungkin saja merupakan suatu ilusi bagi orang lain dan sebaliknya. Contohnya, ada orang yang menganggap bahwa ia akan semakin bahagia jika ia semakin kaya, ia akan semakin dihormati jika jabatannya semakin tinggi, ia akan dipuja jika ia semakin berkuasa. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang menganggap hal-hal tersebut adalah ilusi. Mereka beranggapan bahwa untuk bahagia orang tidak harus kaya dan untuk dihormati didapat dengan menjaga integrasi.
Lalu, mengapa orang-orang berbeda dalam menilai mana kenyataan dan mana ilusi? Tentu saja karena setiap orang memiliki paradigma (world-view) yaitu seperangkat nilai yang menentukan cara kita memandang dunia ini. Kita bisa merasakan bagaimana nilai-nilai kita dibentuk oleh berbagai interaksi antara potensi-potensi yang kita miliki seperti akal, emosi, dan hasrat dengan dunia. Sehingga, disadari atau tidak, penilaian kita mengenai kenyataan atau ilusi seringkali dipengaruhi oleh pandangan umum masyarakat kita. Kemudian kita lupa menguji kenyataan yang 'ditawarkan' kepada kita.
Karena memilah antara kenyataan dan ilusi adalah hal yang penting dalam hidup ini, (saya yakin bahwa setiap) agama menyinggung hal ini dalam Kitab Suci. Di dalam al-Quran, ada satu ayat yang mengutip pernyataan Iblis tentang ilusi dan menarik direnungkan.
Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS. Ibrahim [14]: 22)
Pernyataan Iblis (syaithan) tersebut, disampaikan setelah selesainya pengadilan Allah di depan manusia-manusia yang ditetapkan menuju ke neraka. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas.
Pertama, syaithan memulai dengan mengatakan bahwa janji Allah adalah benar dan pasti ditepati. Artinya, al-Quran yang mengandung firman sekaligus janji-janji Allah merupakan sumber kebenaran yang nyata (faktual, riil). Jika Allah mengatakan bahwa Allah menginginkan kebaikan bagi manusia dan kemudian berfirman bahwa hidup mewah (QS. 23: 64) atau melakukan zina (QS. 17: 32) adalah keburukan, maka hal-hal itu adalah kebenaran (kenyataan, fakta, riil).
Kedua, syaithan mengatakan bahwa janjinya adalah palsu. Pernyataan syaitan ini mengikuti pernyataannya mengenai kebenaran janji Allah. Ini mengandung makna bahwa apapun kenyataan yang Allah janjikan, maka syaitan akan menjanjikan yang sebaliknya. Allah menjanjikan kenyataan, kemudian syaithan selalu berusaha menyesatkan manusia dengan berusaha meyakinkan manusia bahwa kenyataan yang dijanjikan Allah itu adalah ilusi. Tidak hanya itu, syaithan juga selalu berusaha membuat hal-hal yang ilusif (semu, fiktif) tampak nyata (QS. 6: 112; QS. 20: 120; QS. 114: 5). Ini mengingatkan kita untuk selalu awas terhadap keputusan-keputusan hidup kita, apakah ini adalah kenyataan dari Allah ataukan ‘kenyataan’ ilusif dari syaithan.
Ketiga, syaithan mengakui bahwa ia tidak memiliki kendali terhadap keputusan-keputusan kita. Ia hanya mampu membuat ilusi (yang akhirnya memberi keburukan) menjadi tampak nyata (seolah-olah baik dan indah). Tidak lebih. Selanjutnya kendali ada pada diri kita sendiri untuk memilih.
Kemudian, mari kita lihat kehidupan kita saat ini. Jika bertolak dari al-Quran, betapa banyak ilusi yang oleh masyarakat saat ini diyakini sebagai kenyataan. Mari kita renungkan apa yang masyarakat saat ini yakini mengenai harta, jabatan, kekuasaan, kemewahan, status sosial-ekonomi, kehormatan, atau kesuksesan hidup.
Pertanyaanya, seberapa siap kita menyelaraskan kenyataan dan ilusi yang disampaikan Tuhan dalam Kitab Suci dengan apa-apa yang telah kita yakini sebagai kenyataan dan ilusi?
Semoga kita selalu dalam petunjuk dan rahmat Tuhan. Amin.