Mohon tunggu...
Muhsin Nuralim
Muhsin Nuralim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at UIN Sunan Kalijaga in Religious Studies | English Tutor | Bibliophile

Menulis untuk belajar memahami perspektif lain dan menghargai keberagaman

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kembalikan Energi Pasca Liburan Idulfitri

1 Mei 2023   09:47 Diperbarui: 1 Mei 2023   09:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati waktu luang, berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kegiatan sehari-hari, mestinya memberikan sense of fresh. Kesegaran untuk memulai kembali. Hanya saja, tidak semua orang siap untuk kembali ke rutinitas hariannya. Lalu, bagaimana cara agar kita tidak terlalu terikat oleh kasur, scrolling sosial media, dan acara-acara Netflix yang antre untuk diselesaikan itu?

Pertama, yang mungkin bisa dilakukan adalah memahami kenapa perasaan malas dan tidak punya energi itu hadir. Dalam kajian psikologi, setiap emosi punya tujuan spesifik. Nah, kita perlu tahu alasan munculnya dibalik perasaan itu. Jawabannya; setiap orang berbeda-beda. Yang jelas, perasaan hadir bukan tanpa tujuan.

Bagi sebagian orang, rasa malas dan tidak punya energi itu boleh jadi memberi tahu bahwa kita butuh istirahat, kita masih memiliki pola makan dan kualitas tidur belum sehat, jarang olahraga dan sosialisasi? Entahlah! Pada kenyataannya, perasaan itu mencoba memberitahu kita untuk melakukan sesuatu; agar sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita, harapannya, dikemas lebih 'atraktif' dan entusiastik. Sehingga, saat mencoba merampungkan  tugas dan kegiatan-kegiatan lainnya ada motivasi lebih.

Bagi orang-orang yang sering menunggu motivasi, sebaiknya segera dikurangi momen menunggu itu. Ada istilah 'Myth Motivation': Kita percaya bisa menyelesaikan tugas dan tanggung jawab setelah ada motivasi untuk melakukannya atau mencapai perasaan tertentu untuk menyelesaikan setumpuk tugas itu. Pemikiran seperti ini disebut juga "emotional reasoning".

Penalaran Emosi (emotional reasoning) sebetulnya tidak relevan dan dibutuhkan. Karena pada faktanya, saat memulai kita tidak pernah siap. Ini akan memperburuk bila kita punya pemikiran lain seperti "I'm not good enough"; "I'm not qualified to do so". Terlalu banyak pertimbangan justru menghalangi diri untuk memulai. Untuk itu, cara terbaik dan paling berani adalah langsung memulai tugas-tugas yang menumpuk itu untuk diselesaikan.

Kedua, cara untuk memulai juga penting. Jika memang terlalu banyak distraksi dengan pelbagai notifikasi, saatnya melakukan Deep Work sebagaimana disarankan Carl Newport. Tinggal pilih jenis fokus mana yang akan dipakai dari yang empat (untuk jenis-jenis ini, barangkali nanti akan dibahas dalam artikel lain).

Mengalokasikan waktu tertentu untuk fokus hanya pada satu tugas, akan memberikan kita manfaat besar. Hukum Pareto 80/20 bisa digunakan di sini. Jika menginginkan hasil 80%, gunakan 20% untuk 'usaha' yang fokus. Fokus tanpa terdistraksi selama mungkin. the unbreakable focus.

Ketiga, pelabelan 'malas' juga cenderung negatif. Alih-alih kita labeli diri kita sebagai pemalas, kita percaya saja bahwa diri ini sedang butuh istirahat dan mencari strategi baru. Hanya, tolong jangan dijadikan justifikasi untuk prokastinasi lebih lama dan meninggalkan tanggung jawab. Bagaimana pun juga, kata adalah cara kita mempersepsi dunia. Kata pun berperan penting dalam pengelolaan stress.

Terakhir, fenomena perasaan tidak siap dengan segala aktifitas padat pasca liburan disebut juga 'post-vacation blues'. Hanya jika sedikit-sedikit berbicara tentang depresi dan stress rasanya kurang cocok. Tapi, depresi dan stress tidak hadir karena satu faktor saja. Tentu saja, banyak faktor lain yang berperan dalam stress seseorang. Thibaut Meurisse menyarankan untuk meningkatkan kualitas tiga hal: pola makan, tidur, dan olahraga.

Jadi, apapun alasannya, kuncinya adalah "lakukan saja dengan penuh tanggungjawab", karena "your belief do not represent reality".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun