Mohon tunggu...
Muhsin Labib
Muhsin Labib Mohon Tunggu... -

Praktisi Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Butterfly Effect : Mata Rantai Perbuatan

15 Oktober 2013   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:30 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Karena jarak antara rumah petak dan gedung tempat dia bekerja sebagai satpam tdk jauh, Udin secara rutin melintasinya saat pergi kerja pulang. Secara rutin pula dia mampir di warteg dan membawa tiga nasi bungkus untuk dimakan bersama Sutiyem, istrinya dan Bibit, putranya.Namun hari itu, trotoar yang menjadi jalur tetapnya terhalang oleh sebuah jeep mewah, Sebuah jip berwarna merah gelap. Putra almarhum Haji Adnan, sesepuh warga di kampung itu, terpaksa melewati jalan aspal yang padat mobil dan motor dari arah Depok.

Struggle for life menciptakan prilaku ganas di jalanan.  Setiap pengendara, terutama pegawai rendahan, ingin cepat sampai di tempat kerja sesuai batas waktu demi menghindari pemotongan gaji atau dampratan atasan. Survival telah menggerus toleransi dan menerjang batas-batas hak individu. Udin seolah terjebak di tengah arena vandalisme. Tubuhnya terhuyung. Kepalanya membentur aspal. Kakinya dilindas roda mobil. Ia pingsan. Berkat kesigapan para tukang ojek, ia diselamatkan dan disadarkan dari pingsannya setelah diberi air dan beberapa upaya yang sangat mungkin tidak sesuai dengan prosedur P3K.

Meski merasa pening dan matanya berkunang-kunang, anak mantan juragan minyak tanah di Era Orde Baru (yang sekarang sudah habis karena sengketa keluarga) itu tetap melangkah meski rada gontai menuju tempat kerjanya. Kartu absensi yang terpampang di benaknya membuatnya mengabaikan sakit yang dialaminya.

Beberapa jam kemudian, para pegawai gedung berhamburan dan berkerumun. Udin, satpam yang merangkap juru azan di masjid gedung itu jatuh. Ia meringis kesakitan mengeluhkan pusing. Setelah menenggak pil penghilang rasa sakit, Udin diberi hak untuk istirahat di rumahnya.

Karena pulang pada pertengahan jam kerja (sekitar jam 1), istrinya yang sehari-hari bekerja sebagai pencuci pakaian semacam laundry tradisional terperanjat. Karena sangat pusing, Udin tidak sempat menceritakan kronologisnya. Ia terbaring, dan tak lama kemudian dua butir obat penghilang rasa sakit itu memberikan efek kantuk.

Setelah terjaga dari tidur, Udin kehilangan ingatan. Beberapa hari berikutnya, ia mulai sulit menggerakkan kakinya. Udin tak ingat lagi episode demi episode hidupnya. Udin terbaring di kasur sendirian. Rumahnya lengang dan tak terurus karena istrinya yang tak dikenalnya telah pulang ke rumah ibunya bersama anaknya.

Udin yang tinggal sendirian tanpa makan dan minum selama beberapa hari di rumah petak terkena stroke akibat pendarahan gegar otak yang tak dipahaminya. Beberapa saat kemudian, tetangganya yang rata-rata bekerja sebagai pemulung dan penjual bakso keliling, menemukan mayat lelaki tergeletak di samping ranjang. Mulut, maa dan telinganya mengeluarkan darah. Udin bin Haji Adnan berhenti di titik pasti, kematian dalam kesendirian.

Tak ada himne tangis sanak keluarga yang mengiringi pemakamannya. Tak ada tahlil di rumah duka. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Inna lillah wa inna ilaihi raji’un.

Sebagian besar manusia, karena pemahaman kosmologisnya yang sangat sempit, menganggap setiap tindakan dan prilakunya sebagai peristiwa privat, lokal dan terpenggal. Dengan kata lain, banyak orang yang merasa bertuhan namun tidak benar-benar memiliki kesadaran eksistensial. Tanpa kesadaran eksistensial yang universal, manusia yang mengalami industrialisasi dan menjadi bagian dari kapitalisasi tidak bisa menangkap relasi-relasi niscaya antar peristiwa dan fenomena alam, baik dilakukan oleh dan terhadap manusia, hewan, tumbuhan, mineral dan partikel-partikel atomik lainnya. Manusia mekanik terlalu sibuk untuk memahami sistem koneksi kosmik ini sehingga ia tidak pernah mampu keluar dari jejaring kelam kebendaan dan keapaan. Karena itu, ia tidak sadar bahwa tanpa kesadaran eksistensial dan pemahaman tentang sistem pencipataan yang integral, ia adalah pelaku kejahatan sekaligus korbannya.

Kelak pemilik jip mewah itu akan diajukan ke pengadilan hakiki atas tuduhan tindakan yang mengakibatkan beberapa derita serial; pria yang kehilangan pekerjaan karena sakit, istri yang menderita karena tak mendapatkan nafkah, dan anak yang terlantar, dan yang lebih tragis adalah kematian yang didahului dengan gegar otak, amnesia, dan stroke dalam kesendirian. Penyebabnya sederhana : memarkir mobil di trotoar.

Berapa banyak perbuatan, sikap dan prilaku masing-masing dari kita yang tanpa sadar telah menciptakan malapetaka bagi banyak orang hanya karena kepicikan dalam memahami sistem sistem koneksi kosmik. Berapa banyak orang yang telah merasa “melaksanakan tugas” kehambaan dengan melakukan kebaikan-kebaikan namun tanpa sadar melakukan kejahatan-kejahatan dalam skala yang lebih besar dan dengan area kerusakan yang tak terbayang, lalu dengan segenap ketololannya yakin akan mendapatkan reward berupa sorga dan pahala…?

Apa yang dialami oleh Udin adalah salah satu dari sistem koneksi yang dalam komunikasi modern disebut dengan “Butterfly Effect”. Istilah ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Hanya sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Jika suatu sistem dimulai dengan kondisi awal dua maka hasil akhir dari sistem yang sama akan jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001 di mana 0,000001 sangat kecil sekali dan wajar untuk diabaikan. Dengan kata lain: kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana dikemudian hari.

Cukupkah bertauhid secara teologis? Sudahkah kita bertauhid secara kosmologis? Tanyakan kepada kupu-kupu yang mengepakkan sayap…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun