Sulit untuk dipecaya, tapi sungguh terjadi. Ada saja orang yang tidak percaya tentang sesuatu itu ada. Atau dengan ungkapan yang sedikit membingungkan, “ada” yang meragukan keberadaan. Memang sedikit ironis, bagaimana mungkin hal tersebut dapat dijelaskan karena “ada” orang yang meragukan keber-“ada”-an. Sangat terasa sulit berbicara tentang orang semacam itu sementara mau diabaikan kata “ada”. Apakah tidak seharusnya langsung saja menyarankan pendapat kepada mereka yang menolak keberadaan untuk berdiam diri daripada menganggap diri mereka sebagai kelompok yang pernah “ada” dan gigih menolak keberadaan.
Berdiskusi dengan mereka pun tidak akan pernah mengena. Bagaimana mungkin dapat mengena sementara keberadaan kita sebagai lawan dari mereka sudah divonis oleh mereka sebagai tidak ada. Bahkan diri mereka pun tidak luput dari vonis tidak ada. Boleh dikatakan, kalaupun terjadi diskusi, itu akan terjadi antara dua pihak yang sama-sama tidak ada. Absurd.
Lalu dengan apa persoalan unik dapat diselesaikan? Mungkin saling berdiam diri jauh lebih baik. Tidak ada respon-merespon. Tidak ada argumentasi. Tidak ada sesuatu yang perlu diperdebatkan. Mencari tahu lebih pun tidak perlu karena buat apa mencarinya kalau sudah dipastikan tidak ada apapun. Semua ini menjadi semacam deadlock.
Tidak ada sebuah upaya membungkam keraguan mereka tentang keberadaan kecuali membiarkan mereka dengan keadaan mereka sendiri. Atau, kalau sungguh-sungguh mereka mau disembuhkan, cukup lempari saja mereka dengan bebatuan. Kalau mereka berusaha keras menghindari lemparan, hal itu sudah lebih dari cukup untuk memastikan bahwa mereka menghindar dari lemparan yang sungguh-sungguh “ada” dan nyata. Sebab mereka tidak perlu menghindar, sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, dari lemparan yang sungguh-sungguh tidak ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H