Mohon tunggu...
Muhri
Muhri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Blater dan Ulama dalam Perebutan Pengaruh

5 Maret 2017   07:36 Diperbarui: 5 Maret 2017   08:21 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam berbagai tulisan, Orang Madura secara non formal dan karismatik dipimpin dua golongan, yaitu golongan ulama dan golongan blater. Golongan ulama merupakan golongan dengan karisma tertinggi karena menjadi guru bagi masyarakat desa dalam cakupan yang beragam. Tapi dalam kenyataan, seperti dinyatakan Abdur Rozaki dalam penelitiannya dalam masyarakat desa golongan blater yang lebih banyak memenangkan hati pemilih ketika terjadi Pilkades atau pemilihan kepala Desa. Faktor keberanian, jaringan yang luas, dan jumlah pengikut menentukan keberhasilan kaum blater.

Dalam batas tertentu blater memang lebih berpengaruh dari kaum santri. Tetapi dalam berbagai hal sebenarnya kaum blater tetap dekat dan patuh pada golongan ulama. Pertama, golongan blater biasanya berasal dari pesantren atau meminta barokah ulama untuk mendapat kesaktian yang dipakai dalam dunia blater. Hubungan ini tetap bertahan meskipun kedua pihak berada pada posisi berseberangan. Kedua, kaum ulama merupakan orang atau kelumpok orang yang berada pada posisi puncak dengan jaringan kemasyarakatan yang tercermin dalam strata sosial. Dalam stratatifikasi ini, seperti dinyatakan budayawan Madura D. Zawawi Imron, kiyai atau ulama berada paling tinggi di atas haji, ustad, santri, dan awam.

Kaum blater bisa dimasukkan dalam bagian paling bawah dan masuk pada golongan kedua jika sudah tobat dan berhenti menjadi blater. Biasanya, blater menyatakan tobatnya dengan melaksanakan haji dan meninggalkan dunia blater sesudah itu. Ketiga, secara non formal dan karismatik seorang ulama memiliki santri-santri fanatik yang secara turun-temurun menitipkan anaknya pada pesantren tertentu. Hal ini menyebabkan pesantren yang “tua” usianya cenderung dihormati oleh kalangan yang relatif lebih luas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun