Mohon tunggu...
Muhri
Muhri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Darurat Bahasa Madura Terstandar

4 Maret 2017   22:05 Diperbarui: 5 Maret 2017   08:00 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara bahasa baku Bahasa Madura sering diasosiasikan dengan bahasa Madura bagian timur yaitu Dialek Sumenep. Pada mulanya hal ini tidak menghadirkan masalah yang serius. Hampir semua menganggapnya benar, baik, dan bisa diterima. Kemudian jadilah kurikulum pendidikan bahasa Madura menggunakan dialek Sumenep.

Bersama lalunya waktu, bahasa Madura pun berkembang seiring dengan perkembangan media komunikasi, mobilitas orang Madura yang semakin luas, dan banyak faktor lain yang mempengaruhi perubahan gejala kebahasaan. Perkembangan tersebut mengadirkan masalah-masalah dalam pembelajaran bahasa Madura di sekolah karena, misalnya, orang Bangkalan tidak terbiasa dengan dialek yang biasa dipakai dalam buku pelajaran siswa.

Secara sederhana masalah-masalah tersebut dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi sosial dan sisi kebahasaan. Dari sisi kebahasaan masalah terentang mulai dari sisi bunyi sampai sisi makna. Misalnya masuknya unsur bahasa Indonesia yang mirip dalam pengucapan dengan menyebabkan perbedaan pengucapan misalnya pada <toko> di bagian barat pulau Madura terbaca [toko] sedang yang lain [tɔkɔ]. Hal ini tidak menghasilkan efek yang mengganggu pembelajaran.

Masalah besar lain adalah pada unsur leksikal bahasa, yaitu kosa kata yang digunakan oleh berbagai dialek dalam bahasa Madura. Salah satunya, tingkatan atau ragam bahasa yang dalam kebanyakan literatur tentang bahasa Madura, seperti dalam Kosa Kata Bahasa Madura karya Bastari dan Yoesi Ika Fiandarti, dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu engghi-bunten yang merupakan ragam tinggi, engghi-enten yang merupakan ragam tengah, dan enja’-iya yang merupakan ragam bahasa rendah. Dalam hal tingkatan ini, pada kenyataannya hanya dua ragam yang digunakan yaitu ragam tinggi dan ragam rendah. Hal ini mungkin ditanggapi dengan menyatakan bahwa seharusnya menggunakan tiga ragam dengan cenderung menyalahkan masyarakat pengguna. Masalahnya, ketika dirunut ke belakang bahasa Madura ragam tinggi sendiri bukan asli dari Madura melainkan dari Solo yang diadaptasi dari bahasa Jawa ragam tinggi. Selain itu hal ini sulit dipertahankan di Madura karena tidak adanya institusi seperti di Jawa Tengah yang benteng terakhirnya adalah keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Jika berkaca pada bahasa Indonesia yang mengambil bahasa melayu Riau sebagai bahasa nasional yang tidak lantas mempertahankan bahasa Melayu Riau sebagai bahasa nasional, bahasa Madura seharusnya juga demikian. Bahasa melayu diformulasi dengan tulisan-tulisan berdasarkan perkembangan bahasa. Hasilnya, bahasa Indonesia yang sudah bukan bahasa Melayu Riau seperti yang kita ketahui sekarang. Di Madura tidak ada standardisasi bahasa. Yang ada hanya pemilihan dialek yang mendasari standardisasi, belum sampai pada proses standardisasi sehingga bisa dikatakan bahwa bahasa standar bahasa Madura itu belum ada.

Masalah utama dari semua masalah tersebut adalah media pengungkapan dengan bahasa Madura masih belum signifikan. Kekurangan ini menyebabkan tidak ada tulisan ilmiah tentang bahasa Madura yang memadai yang bisa menghimpun perkembangan bahasa madura seperti kamus, tata bahasa yang ilmiah dan media ekspresi seperti majalah koran dsb. Efeknya, sastra Madura sudah meninggal jauh sebelum tulisan ini disampaikan. Mungkinkah ada penelitian sastra tanpa ada karyanya?

Pemetaan bahasa Madura pun tidak dilakukan lagi sejak ditetapkan ada tiga dialek yaitu Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Bagaimana dengan bahasa Madura yang dipakai di sebagian pulau Jawa, misalnya Pasuruan, Malang, Jember, dsb? Rasanya, perlu ditinjau kembali mengingat rentang waktu yang telah lama setelah penetapan dialek tersebut.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya. Campur tangan yang baik dari pemerintah. Beberapa kali kongres bahasa Madura tidak menghasilkan apa-apa. Kongres yang menghabiskan dana besar itu hanya menghasilkan “bualan” berupa lisan. Padahal yang dibutuhkan adalah kamus standar, ejaan standar, tata bahasa standar sebagai kebutuhan dasar standardisasi bahasa. Jika kongres bahasa Madura berikutnya tidak menghasilkan salah satu buku dasar tersebut, alangkah baiknya jika alokasi dana untuk kongres digunakan untuk proyek buku standar tersebut dengan mendatangkan ahli bahasa sebagai penyusun. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, punahnya bahasa Madura sudah di ambang mata. Pergaulan luas orang Madura cenderung mendorong penggunaan bahasa Indonesia yang tanpa sengaja mengurangi pemakai bahasa Madura dari suku madura sekali pun. Sehingga, tanpa ketiga buku tersebut bisa dikatakan bahasa Madura dalam kondisi darurat bahasa standar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun