Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengkritisi tak Harus Memberi Solusi

14 September 2021   11:57 Diperbarui: 14 September 2021   12:13 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Kritik adalah sesuatu yang mudah dihindari dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa"
(Aristoteles)

 Kritik adalah hal yang (mungkin) sering kita dapatkan maupun kita lakukan, budaya kita mengajarkan bahwa jika kita sedang dikritisi, maka kita harus melakukan introspeksi. Seperti kata Carol Dweck seorang Profesor Psikologi di Stanford bahwa salah satu tanda berkembangnya manusia adalah menerima kritik dari sesamanya.

 Pun jika kita melihat ada kejanggalan, tentu sudah sewajarnya kita akan memberi kritikan. Namun ada dilema yang sering kita temui ketika kita mengkritisi, yakni memberi solusi, tak sedikit orang yang ketika diberi kritik mereka juga meminta solusi. Pertanyaannya, apakah mengkritisi harus memberikan solusi? Hal inilah yang akan kita bahas di sini.

Memberi dan Menerima Kritikan Adalah Pembangunan Atas Peradaban Manusia

 Sebelum memasuki topik utama, marilah kita menelaah fenomena kritik-mengkritik sekaligus perannya dalam sejarah manusia. Thomas Kuhn, seorang Fisikawan Amerika dalam bukunya 'The Structure of Sciencetifik Revolution' menjelaskan bagaimana peradaban dibentuk oleh pergantian paradigma dalam sejarah pengetahuan.

 Penjelasan Kuhn ini memberikan pandangan pada kita, bahwa peradaban manusia berkembang karena pergantian pandangan akan dunia. Pandangan dunia sendiri berubah karena ada kritik-mengkritik di dalamnya, sesuai kata Popper bahwa pandangan yang mapan akan runtuh apabila ditemukan kerancuannya.

 Semisal, dulu manusia berpandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta, lalu pandangan tersebut dikritik oleh Nicolaus Copernicus dalam teorinya 'heliosentrisme' yang menyebutkan bahwa matahari lah pusat alam semesta, peristiwa ini disebut sebagai revolusi copernikan.

 Revolusi copernikan menyebabkan bergantinya pandangan umat manusia akan pusat alam semesta, karena penjelasan Copernicus lebih kuat justifikasinya, pergantian pandangan ini yang kemudian manusia dapat lebih memahami dunia.

Melihat Beda Kritik Pengetahuan Dengan Kritik Peraturan

 Telah kita lihat bagaimana kritik membangun peradaban manusia, yang contoh kasusnya adalah revolusi copernikan. Namun perlu dicatat bahwa revolusi copernikan adalah contoh kritik dalam konteks pengetahuan, yang tentu akan berbeda dengan kritik dalam konteks peraturan, mari kita lihat perbedaannya :

*Kritik Pengetahuan : Upaya tuk membongkar pandangan atas dunia, yang cenderung menggunakan justifikasi logis-empiris atau justifikasi rasional (cenderung diterima)
*Kritik Peraturan : Upaya tuk membongkar pandangan atas dunia, yang cenderung menggunakan justifikasi etis-estetis atau justifikasi moral (cenderung tak diterima)

 Kritik pengetahuan mudah diterima, karena basisnya yang rasional, sedangkan kritik peraturan yang kaitannya dengan nilai-nilai moral cenderung tak diterima. Sebab ada suatu hegemoni simbolik yang mengaturnya, sehingga mengakibatkan munculnya pemutlakan kebenaran dalam relativitas pandangan.

 Semisal peraturan pelarangan rambut gondrong dalam sekolahan dengan dalih kebaikan (etis) dan kerapian (estetis), lalu dikritik dengan argumen bahwa aturan itu justru tak baik karena mengalihkan fokus sekolah pada penampilan ketimbang kecerdasan. Namun oknum sekolah masih bersikeras tuk memapankan aturan itu padahal telah rancu, dengan justifikasi etis yang telah kadaluarsa dan basi hipotesanya.

  Dengan membedakan dua kritik ini, kita akan mencoba memasuki pembahasan utama.

Mengkritisi Haruskah Mencari Solusi?

Apakah mengkritik harus disertakan solusi dalam mekanismenya? Dalam kritik pengetahuan yang salah satu contohnya adalah revolusi copernikan, Copernicus memperlihatkan kerancuan pandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta dengan cara melakukan observasi, ternyata menemukan sistem tata surya, lalu memberi pandangan baru bahwa matahari lah yang menjadi pusat alam semesta.

Anggaplah bahwa observasi Copernicus akan benda-benda di semesta adalah upaya pembuktian kerancuan pandangan 'bumi adalah pusat alam semesta', lalu pandangan 'matahari adalah pusat alam semesta' adalah solusinya.

Akankah wajib bagi Copernicus ketika mengamati benda-benda di angkasa lalu mengkritik pandangan 'bumi pusat alam semesta' memberikan solusi atas kritikannya?.

Kita ambil contoh yang lebih kompleks, ada suatu masyarakat yang menaati pola hidup sehat hasil rumusan ilmuwan setempat, ternyata banyak orang yang justru sakit ketika mengikuti pola tersebut. Lalu ada penduduk biasa yang mengkritik pola hidup sehat rumusan para ilmuwan itu, akankah wajib bagi penduduk itu tuk melakukan observasi guna menemukan solusinya?.

 Terlihat di sini bahwa mencari solusi tak harus dilakukan bagi orang yang mengkritisi, mencari solusi adalah tugas bagi orang yang mumpuni. Copernicus mengkritisi sekaligus menemukan solusi karena ia memiliki kapasitas yang mumpuni (sebagai akademisi).

 Dalam kritik peraturan, kita ambil contoh kasus mengenai efektivitas pembelajaran daring. Kita melihat bahwa ternyata pembelajaran daring itu kurang efektif lalu kita mengkritiknya, apakah kita wajib tuk mencari solusinya? Tentu tidak, karena mencari solusi adalah tugas pemerintah, namun jika kita memberi solusi tentu akan lebih baik.

Tak Mau Dikritisi Malah Minta Solusi, Apakah Pikiran Sudah Tak Berfungsi?

Telah kita lihat bahwa mengkritisi tak harus memberi solusi, namun masih banyak orang maupun institusi yang ketika dikritisi justru mewajibkan adanya solusi. Semisal ketika kita mengkritik peraturan sekolah terkait hilangnya peran guru (sekolah) dalam pembelajaran jarak jauh, lalu sekolah mewajibkan kita (pengkritik) tuk mencari solusinya.

 Pewajiban itu adalah tanda bahwa sekolah tak dapat berfikir dan kekurangan gizi, sebab nalarnya mengalami disfungsi. Sebab sekolah sebagai institusi yang (harusnya) penuh akan akademisi justru tak dapat menyelesaikan masalah (yang diangkat oleh kritik) dalam sistemnya.

 Tapi tetap, memberi kritik sekaligus solusi adalah hal yang amat afdol namun tidak wajib.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun