Â
Kisah ini adalah ungkapan doa-doa seorang hamba yang ingin meminta kebahagiaan kepada Tuhan-nya, yang mungkin kebahagiaan itu adalah suatu siksaan pada hamba lain-nya, kadangkala bagi sebagian manusia, siksa adalah bahagia dan bahagia bisa pula menjadi siksa, hal demikian akan terkelupas apabila anda telah membaca dan meresapi inti sari dalam cerita ini, simaklah dan masuki seutuhnya....
***
 Kala itu, dunia sedang dilanda pandemi dan manusia sedang diisolasi, beberapa saat ketika pandemi telah memasuki Indonesia, ada seorang bocah SMK yang baru sampai di rumah, karena semua sekolah dikosongkan dari hiruk-piruk siswa, bocah itu senang karena menurutnya sekolah adalah siksa, pengembalian siswa pada habitatnya sangatlah cocok dengan isi kepala si bocah.
 Saat siswa lain di rumah tidak ngapa-ngapain dan hanya melihat angin, si bocah mengikuti kegiatan pemberantasan wabah bersama salah satu lembaga kemanusiaan di negrinya, ia merasa bebas se-bebasnya, karena ketika sedang berada pada belenggu sekolah, si bocah tak dapat melakukan pergerakan secara leluasa.
 Pandemi semakin menghujat bumi, virus semakin menggerogoti akal budi, terbitlah pandemi lama yang dianggap baru kala itu, yakni pandemi ekonomi, karena situasi yang semakin mencekam, maka segala sektor pasti terancam. Sekolah salah satunya, pembelajaran di rumah diperpanjang hingga kondisi kembali memungkinkan, entah kapan. Si bocah semakin senang, ia dapat semakin leluasa tuk melakukan aktivitas kemanusiaan, mengisi pikiran, melakukan pembelajaran yang tak pernah diajarkan oleh sekolahan, bahkan ia dapat membuka usaha kecil-kecilan. Kala bocah itu sedang melakukan aktivitas kemanusiaan, betapa kagetnya ia ketika meliat suatu fenomena di bagian lain di dunia, fenomena yang menggerus hati si bocah.
 Mulai dari kemiskinan yang semakin merajalela, hingga kejahatan yang semakin buas adanya, ada keluarga kelaparan yang sedang menunggu sang pencari nafkah untuk pulang ke rumah, adapula gadis kecil yang meringkik memanjatkan doa di pinggir perempatan kota, bahkan ada tukang sampah yang tetap bekerja tuk memberi senyuman pada Istri yang sedang merawat buah hati di rumah. Tanpa disadari, air mata bocah telah menetes sejak tadi, betapa pilu hatinya ketika melihat fenomena bencana kemanusiaan yang sedemikian rupa, tetesan air mata telah mengalir bersamaan dengan ribuan kesedihannya, bocah tersebut-pun memutuskan tuk terus melakukan gerakan kemanusiaan sampai tubuh tak menyisakan bayang-bayang.
 Sesampainya si bocah di rumah, ia bermimpi sampai pagi, impiannya menggugurkan sepi, bersama setumpuk bacaan yang bergizi, bocah terus mengisi kepala dengan menuang ilmu di dalam cangkir-cangkir waktu, tugas malam  tuk memejamkan mata digagalkan olenya. Ketika itu, banyak sekali seminar online yang diadakan, bocah memiliki antusias tersendiri kepada aneka ragam seminar itu, karena baginya, inilah kesempatan tuk mewujudkan sekolah yang sesungguhnya, sekolah yang membuat siswanya antusias belajar karena ingin memahami dunia, bukan gara-gara ijazah.
 Sedikit dari banyak ilmu ia cerna, karena dalam banyaknya seminar tersebut, si bocah tak peduli apapun temanya ia tetap mengikuti dan memahami, mulai dari Agama, Sains, Sosial, Sastra, Kedokteran hingga Filsafat. Bocah amat gembira, sembari mengumpulkan remah pengertian di jejalanan, juga remah kepedulian di sepanjang tujuan. Si bocah berharap ia tak masuk sekolah selamanya.
 Bocah sumringah, lebaran telah tiba, perayaan atas sebulan puasa, masih dalam bayang-bayang wabah tentunya. Lebaran tahun lalu, umat manusia berhamburan di jejalanan kota untuk ibadah, sedangkan lebaran kali ini, umat manusia hanya dapat melantunkan doa dari dalam rumah, sehingga kota dipenuhi oleh harapan yang berhamburan di jejalanan.
 Bocah memutuskan tuk segera melampiaskan hasrat pengetahuannya, sehingga uang lebaran yang diberikan oleh keluarga ia barter dengan tumpukan jendela dunia. Yahh untuk menjaga kewarasan di tengah kepanikan dan untuk mempertahankan nyala ilmu pengetahuan.