Kita sama-sama dikejutkan oleh rencana pelaksanaan Pilkada yang tetap dilanjutkan ditengah-tengah wabah, padahal semua kegiatan seperti sekolah diundur sedemikian rupa, ini menurut saya sangat mengejutkan jiwa raga bangsa. Apa karena petahana? Atau kampanye yang mulai menghabiskan dana? Topik seperti ini menjadi bahan baru untuk ghibah, pilkada dilanjutkan, sekolah dihentikan, apakah pemerintah lebih memilih pemilihan dibanding kecerdasan?.Â
Ditambah lagi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini, ribuan, bahkan bisa dibilang jutaan masyarakat baik mahasiswa, pelajar maupun pekerja turun ke jalan, demi menuntut undang-undang yang mengandung penindasan agar segera dibatalkan setelah disahkan. Siapa yang salah? Masyarakat kah? Pemerintah kah? Atau jangan-jangan ada yang menyalahkan Tuhan? Kedua fenomena diatas sudah menjadi bukti bahwa baik masyarakat, aparat maupun pejabat, tak lagi peduli dengan pandemi yang sedang melunjak cepat.Â
Dua kejadian besar tersebut dapat dijadikan suatu penolakan akan penyakit yang katanya membahayakan kesehatan, yakni pandemi corona, topik inilah yang akan saya kupas secara filosofis, sosiologis, etis dan saintis pada tulisan saya kali ini. Mengingat pentingnya informasi yang dicerna, masyarakat harus membaca literasi sebanyak yang ia bisa, karena tak baca literasi berpengaruh pada otak yang tak kunjung di isi.Â
Pembahasan singkat pada tulisan saya ini akan berupaya menjelaskan, mengapa berita tentang bahayannya virus corona tak lagi berguna karena telah ada demo dan rencana pilkada sebagai suatu fenomena.Â
Memasuki dimensi filosofis, mengapa berita bahayannya corona tak lagi berguna?Â
Mengutip dari seorang filsuf post-modern bernama Jaques Deridda, beliau mengatakan bahwa tafsiran setiap kata itu temporal (sementara) , berubah mengikuti kondisi kultural-universal setiap manusia. Bila perkataan corona dikaitkan dengan fenomena demo dan rencana pilkada, dimana kedua fenomena ini adalah representasi (wujud) dari kondisi kultural dan nasional hari ini.Â
Maka perkataan bahaya-nya wabah corona akan ditafsirkan oleh masyarakat sebagai perkataan bohong, atau informasi yang tak memiliki validasi data, maka hermeneutika (pemaknaan) kata wabah oleh bangsa indonesia tak lagi menakutkan seperti apa yang telah diberitakan oleh media massa.Â
Lanjut kedalam dimensi sosiologis.Â
Karl R Popper dalam Open Society and It's Enemies, menjelaskan apa yang disebut sebagai rekayasa sosial bongkar pasang (piecemeal social engineering), yaitu sebuah metode untuk merekonstruksi (membangun) sekaligus merekayasa, suatu opini sekaligus perilaku sosial dalam lingkup universal (luas), untuk menganalisis penggunaannya, maka kita harus me-reduksi (bongkar-pahami) secara rasional (akal) apapun kejadian yang telah terjadi.Â
Menurut saya, media dengan penguasannya telah menggunakan metode tersebut, sebagai sarana mereka untuk merekayasa opini dan perilaku masyarakat, agar pikirannya menangkap suatu sinyal bahaya, sehingga ia harus taat, hal ini dapat dijadikan sarana hipnotis sebagai rencana bisnis.Â
Namun, dengan terjadinya fenomena demo dan rencana pilkada, bangunan opini tersebut otomatis hancur dan gugur seketika, sehingga masyarakat dalam konteks (ruang) corona, tak lagi dapat di hipnotis oleh penguasa.Â