Mohon tunggu...
Muhnizar.siagia
Muhnizar.siagia Mohon Tunggu... -

mulai tertib dan teratur menyiapkan revolusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rezim Pasar, Kapitalisme dan Mahasiswa

13 Agustus 2012   01:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mahasiswa, jelas satu kata ini sangat familiar dan erat dengan kehidupan di indonesia. Bukan hanya kehidupan yang dalam artian luas seperti kehidupan berbangsa dan bernegara, namun dalam kehidupan sehari- hari. Jelas jika berbicara mahasiswa orang akan terkonstruksi kepada kaum intelektual yang identik dengan demontrasi, para intelektual yang bebas nilai dan merdeka, dan biasa dekat dengan para kaum marginal, bersuara memperjuangkan keadilan dan semua harapan menggantung pada kaum beralmamater ini.

Terminology mahasiswa di Indonesia sangat membekas dikarenakan lembaran sejarah menuliskan mahasiswa pernah menumbangkan seorang diktator Indonesia yang menguasai bangsa ini dengan lebih dari 30 tahun. Hal ini jelas terus membekas dan menjadi euphoria yang selalu menjadi kebanggaan mahasiswa yang saya rasa hingga berakhirnya bangsa ini masih akan menjadi kebanggaan kaum beralmamater.

Pendidikan, penelitian serta pengabdian, ketiga hal inilah yang menjadi landasan mengapa universitas lahir, hidup, berkembang dan mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Ketiga hal ini yang disebut sebagai Tri Darma Perguruan Tinggi.

Mahasiswa, salah satu komponen dalam kehidupan universitas jelas memainkan peran yang diamanatkan dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Namun apakah kenyataannya saat ini mahasiswa memainkan peran seperti yang diamanatkan atau telah bergeser dengan berkembangnya jaman. Hal inilah yang akan dibahas penulis dengan melihat realita yang ada saat ini.

Perkembangan jaman jelas terus mempengaruhi makna mahasiswa secara seutuhnya. Menarik menyimak dan mengobservasi bagaimana makna mahasiswa saat ini, dengan yang dikatakan francis fukuyama telah sampainya dunia pada puncak peradaban dengan liberalisme kapitalisme sebagai komandannya, dan jelas individu seperti mahasiswa tidak terlepas dari pasar yang menjadi hegemoni saat ini.

Logika waktu sempit, inilah yang penulis ingin paparkan dengan melihat realita bagaimana mahasiswa saat ini. 24 jam hampir dirasa setiap manusia di dunia ini yang masuk dalam system pasar dan kapitalisme sangat sempit, termasuk mahasiswa merasakan hal ini juga. Tuntutan system pendidikan dengan padatnya jadwal kuliah, adanya konstruksi waktu yang dianggap normal untuk menyelesaikan masa studi seperti anggapan 4 tahun adalah waktu normal, lebih dari itu mulai muncul stigma- stigma miring untuk menuduh mahasiswa tersebut agak kurang dalam kemampuan akademik. Penghargaan yang selalu disematkan kepada yang cepat, seperti doctor muda, professor termuda, mahasiswa lulusan tercepat dan lainnya yang mengisyaratkan kecepatan akan diberikan hadiah dan kelambanan akan dihukum dengan bentuk kekalahan, anggapan bodoh dan negative lainnya.

Dengan system ini, jadilah kegagalan dalam mata kuliah merupakan “kiamat kecil” bagi mahasiswa. Mahasiswa juga berlomba- lomba dengan kompetisi tampa batas dengan meninggalkan hal- hal lain yang sebenarnya penting dalam kehidupan, seperti solidaritas, kepekaan social dan kesibukan humanisme lainnya. Waktu telah habis untuk memikirkan study dan mengejar konstruksi“waktu normal” ini. Siapa yang diuntungkan dari logika waktu sempit ini? Jelas pasar, para pengusaha yang siap menerima lulusan- lulusan universitas yang seperti mesin, tampa nalar kritis, yang sudah dimatikan kepekaan social dan solidaritasnya ketika di bangku perkuliahan.

Bagi derrida, stigma atau anggapan ini jelas harus didekonstruksi agar melihat kepentingan apa yang terdapat dalam wacana yang menimbulkan stigma ini.

Jika mendung maka hujan

Jika kuliah lebih dari 4 tahun maka bodoh

Tampak, stigma diatas jelas telah terkonstruksi hampir di setiap otak mayoritas manusia di negeri ini. Apakah stigma ini alamiah terjadi, atau ada yang mengarahkan hingga terbentuk wacana ini.

Jelas inilah yang disebut ciri- ciri rezim pasar, hegemoni dunia saat ini. Mahasiswa telah masuk di pasar dan dirasuki semua logika pasar. Kehidupan saat ini jelas tak terlepas dari rezim yang mengubah mahasiswa dari idealisme menjadi pragmatisme. Logika pasar menjadikan mahasiswa sama seperti komoditas yang diperjualbelikan. Kita lihat saja, logika yang cepat dalam menyelesaikan study yang hebat, bagi anggapan mayoritas masyarakat, terutama mahasiswa. Mahasiswa seperti ini bernilai tinggi di masyarakat dengan dianggap hebat dalam akademis. Apakah itu tidak sama seperti mobil? Mobil, semakin cepat, semakin mahal harganya, begitu juga mahasiswa, semakin cepat kuliah semakin hebat anggapan masyarakat, tampa tahu kontribusi apa yang sudah diberikan selama study untuk pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Jadilah lulusan universitas yang tidak mampu bernalar kritis, mempunyai solidaritas yang tinggi dan peka terhadap lingkungan social dan kesejahteraan bersama, karena selama di bangku kuliah asing terhadap hal ini dengan individualism yang dihasilkan logika waktu pendek.

Selain itu, rezim pasar yang menunjukkan gejala- gejala hipermodernitas . logika mode juga merasuk ke semua sendi kehidupan mahasiswa. Logika mode, yang banyak disuntikkan berbagai media baik media massa maupun media eletronik yang ada di negeri ini. Pekerjaan- pekerjaan seperti petani, nelayan, atau para volentir yang mengabdikan diri kepada masyarakat menjadi sangat tidak menarik bagi mahasiswa, karena konstruksi pekerjaan yang hebat setelah lulus dari bangku kuliah adalah yang menggunakan pakaian jas, seperti para pejabat dan diplomat, cenderung formal, dan di kantor- kantor yang menjulang tinggi. Inilah hasil kerja dari TV “tuhan 14 inci”, atau media lainnnya yang berhasil menyuntikan wacananya. Lalu siapa yang untung? Para kapitalisme dan penguasa pasar. Jadilah Indonesia negara yang agraris namun mengimpor beras, karena pekerjaan petani menjadi tidak menarik.Negara maritime, namun ikannya hasil survey terakhir banyak berasal dari china, karena profesi nelayan juga menjadi tidak menarik.

Doktrin- doktrin pasar juga merasuki mahasiswa seperti yang cantik itu yang putih, yang ganteng itu seperti actor korea, mulailah mahasiswa hanya disibukkan dengan hal- hal ini saja, sepanjang waktu memikirkan kulit yang harus putih, style gaya terbaru, dengan gadged apa yang digunakan atau kendaraan apa yang dibawa ketika ke kampus. Lalu siapa yang diuntungkan? Jelas produsen pemutih, produsen style terbaru atau produsen gadged terbaru. Menurut erich fromm, rutinitas atau kesibukan model mahasiswa yang dipaparkan diatas bukan aktivitas moral yang terpuji, karena merupakan kesibukan yang pragmatis, untuk diri sendiri, bukan kesibukan yang substantive, bermanfaat bagi sekitar.

Lebih penting lagi, logika waktu sempit dan logika mode juga menimbulkan individualitas tampa batas. Pragmatisme mematikan solidaritas, rezim pasar menginginkan semua yang berhubungan dengan kolektifitas seperti solidaritas mati, karena individualisme akan menghasilkan persaingan yang mengikuti logika mode.

Diskusi- diskusi menjadi hal yang tidak menarik, bicara gerakan dan solidaritas juga menjadi “tamu” dirumahnya sendiri. Mahasiswa yang solidaritasnya tinggi, aktif diskusi atau aktif dalam kegiatan- kegiatan kemanusiaan sulit ditemukan, kalaupun ada populasinya sangat sedikit dan terus menurun jumlahnya.

Bangsa ini, dengan kerusakan sistemik yang ada membutuhkan “renaissance”. Mahasiswa harusnya bisa mengambil peran sebagai penggerak” pencerahan” tersebut dengan kemerdekaan berfikir, idealism dan ilmu yang harusnya membuat revolusi humanisme. Revolusi kemanusiaan yang harus tergerak, mengembalikan solidaritas dengan memulai diskusi- diskusi yang massif untuk menimbulkan daya berfikir yang membongkar wacana yang ada, seperti yang dijelaskan diatas yang menjebak mahasiswa dalam rezim pasar yang menuju dehumanisasi, kehancuran manusia yang hanya tinggal menunggu waktu. System pendidikan pun harusnya segera berubah, bisa menjaga jarak dengan dominasi dan hegemoni pasar, bukan menjadikan pendidikan, mahasiswa dan elemen lainnya dalam pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan, yang melakukan kejahatan wacana seperti wacana dan stigma yang dihasilkan system universitas seperti yang dipaparkan diatas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun