Mohon tunggu...
Muhnizar.siagia
Muhnizar.siagia Mohon Tunggu... -

mulai tertib dan teratur menyiapkan revolusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsumerisme, Ideologi Bangsa Setelah 67 Tahun Merdeka

13 Agustus 2012   00:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

17 agustus 1945- 17 agustus 2012, perjalanan panjang 67 tahun kemerdekaan Indonesia. Perjalanan melebihi setengah abad ini banyak mencatatkan sejarah yang penting untuk menjadi analisis dan bersama- sama untuk mengevaluasi kemana sebenarnya tujuan hakiki dari kemerdekaan bangsa Indonesia.

Berbagai tantangan dan hambatan tercatat di sejarah bangsa ini mulai dari zaman presiden soekarno hingga SBY. Kemerdekaan yang mempunyai arti sangat luas ini, banyak dinilai kalangan belum dicapai Indonesia secara utuh. Mulai dari kemiskinan, tingkat pengangguran hingga besarnya investasi asing di negeri jamrud katulistiwa ini menjadi argumentasi baik akademisi maupun praktisi.

Namun lebih dari pada itu, ada hal yang sangat penting untuk menjadi analisis dan renungan berbagai elemen di tanah air. Konsumerisme sepertinya layak untuk dikatakan sebagai ideology bangsa saat ini.

Media- media baik elektronik maupun media cetak, sebagai alat pengaruh social jelas memainkan peranan penting dalam strategi- strategi propaganda perusahaan- perusahaan yang bersama media bertanggung jawab atas konsumerisme yang dianut masyarakat Indonesia saat ini. Kita lihat saja, iklan pemutih yang mendoktrinisasi perempuan- perempuan Indonesia untuk putih seperti para figur dalam iklan yang disajikan tersebut, atau pembersih wajah yang tidak hanya menujukan perempuan sebagai konsumen tetapi juga laki- laki dengan menampilkan berbagai figure yang juga menjadi idola banyak perempuan di negeri ini.

Hal ini jelas merupakan penjajahan baru yang membuat anak bangsa Indonesia menjadi seperti “imitasi”, yang mengkonsumsi berbagai pemutih tersebut untuk menjadi seperti para figure dalam media- media periklanan nasional. Apakah sampai disana saja? Jelas tidak. Perusahaan jelas tidak kehabisan ide untuk menjual produknya, atau memaksa konsumen secara tidak sadar untuk membeli produknya.

Mimpi- mimpi sekarang bisa dibeli lewat produk- produk yang dibeli, bahkan dari sekaleng atau sekotak nutrisi. Perusahaan jelas sangat pandai membaca pasar di Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim jelas menjadi peluang tersendiri untuk menambah daya beli masyarakat. Kita lihat saat ini, dari membeli produk kita bisa menggapai mimpi, dengan berbagai program undian naik haji atau umroh, yang menjadi impian jutaan umat muslim di Indonesia. Belum lagi, dalam percaturan dunia yang menganut pasar bebas saat ini, yang membuat arus barang dan jasa bebas keluar masuk negeri ini. Kita lihat saja beberapa perjanjian perdagangan non- tariff akhir- akhir ini seperti antara ASEAN- China, yang membuat produk cina beserakan di negeri ini atau antara Indonesia dengan Negara- Negara lainnya, yang juga semakin mendukung ideology konsumerisme.

Hal ini jika disadai bisa dijawab dengan logika sederhana hukum ekonomi. Perusahaan produsen produk- produk pemutih atau nutrisi yang menjanjikan naik haji jelas tidak punya niat suci untuk membuat konsumennya menjadi seperti yang disampaikan dalam strategi pemasaran, yang ada hanya satu tujuan yaitu “beli produk kami”.

Ideology konsumerisme ini juga merambah kaum birokrat, teknokratbahkan kaum melarat di negeri ini. Para pejabat yang notabene birokrat juga tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, jelas kita masih ingat harga milyaran yang harus ditebus untuk pembelian mobil baru para menteri kabinet Indonesia bersatu jilid II. hedonisme yang diperlihatkan para pejabat, bahkan pemuka agama seperti ustad pun mempertontonkan pemujaan terhadap konsumsi tanpa melihat banyak umat dalam kondisi terpuruk. Belum lagi, kampanye setengah hati untuk menggunakan produk dalam negeri yang para pejabat masih menggunakan produk luar negeri yang harganya selangit.

Para generasi muda yang sejatinya menjadi penerus tongkat estapet pembangunan bangsa juga tidak terlepas dari konsumerisme. Generasi muda disibukkan dengan berbagi produk yang membuat generasi muda melupakan tujuan utama untuk mengisi diri dengan nilai- nilai intelektualitas dan moral sebelum menjadi pengganti para pemimpin saat ini. Kita lihat saja, sibuknya generasi muda ber- BBM ria setiap hari atau begitu tingginya aktifitas dunia maya, mulai dari komunikasi atau jual beli produk lewat jejaring social yang menjadi berhala baru.

Masalah ini jelas menjadi cermatan kita bersama untuk kembali merenungi kemana arah dan tujuan hakiki negeri ini. Sudah selayaknya saat ini yang dilakukan semua pihak adalah membaca situasi seperti kata pepatah minang” alam takambang jadi guru”, mencermati semua yang terjadi saat ini untuk menjadi analisis sebagai media pembelajaran bersama guna mewujudkan tujuan bangsa yang mempunyai idelogi serta nilai- nilai intelektualitas dan moral yang tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun