*oleh: Muhammad L Aldila
Sungguh, perkembangan penegakan hukum belakangan ini begitu cepat. Perkembangan ini melesat bak peluru yang tidak diketahui kemana sasarannya. Tidak diketahuinya sasaran peluru ini tidak serta merta mengartikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan semestinya. Justru ketidaktahuan kita akan arah peluru inilah yang melahirkan suatu asumsi baru di benak kita bahwa ada yang tidak beres dengan penegakan hukum macam ini.
Sadarkah anda betapa berbahayanya jika penegakan hukum sudah bercampur dengan politik (kekuasaan) beraura negatif? Ya, jawabannya sudah pasti sangatlah berbahaya. Itulah kriminalisasi. Sebuah kejahatan terorganisir yang dilakukan dengan apik bak drama reality-show di sore hari. Oleh sebagian ahli, kriminalisasi memang diidentikkan dengan suatu mutasi genetika dari anomali-anomali dalam penegakan hukum. Ia bermetamorfosa menjadi bentuknya yang mendekati sempurna. Ia bisa diamati dari pola khusus yang tiba-tiba saja terjadi saat semangat penegakan hukum tanpa pandang bulu sedang berkobar. Misalnya saja kasus yang menimpa Antasari Azhar, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, bahkan kasus Munir, Akseyna, dsb. Dan karena bentuknya yang sulit dibuktikan inilah kemudian beberapa ahli mengidentifikasi kriminalisasi sebagai generasi terkini dari penyimpangan dalam penegakan hukum.
Petaka ini rasanya persis, seperti ilmu yang saya pelajari dalam pengantar ilmu hukum. Dalam teori ilmu hukum disebutkan bahwa hukum itu bersifat interpretatif. Maksudnya, hukum itu sejatinya ialah sebuah ruang hampa yang berisi makna yang berbeda-beda. Objek hukum disini kemudian diidentikkan dengan sebuah teks peraturan perundangan positif (hermeunetika). Sehingga, memungkinkan siapapun untuk menafsirkannya dari sudut pandangnya sendiri. Jika dikaitkan dengan kriminalisasi, tentu betapa celakanya jika sifat hukum yang interpretatif dan objek hukum yang hermeunetika ini digunakan dengan seenaknya oleh para penguasa. Terlebih jika ditafsirkan dengan penuh nafsu kekuasaan. Maka sudah pasti keadaan ini sesuai dengan kalimat satiran yang berlaku di masyarakat kita: “hukum tajam kebawah, tumpul keatas”.
Mungkin petaka inilah yang kini sedang mendera Kabareskrim Polri Komjen Budi Waseso. Ia yang sebelumnya sedang memimpin penyelidikan kasus dugaan korupsi waktu tunggu bongkar muat barang (dwell time) tiba-tiba saja didera isu mengenai pencopotan dirinya dari jabatan kabareskrim. Ia diduga dicopot terkait ketidakwarasannya menggeledah ruang Dirut PT Pelindo II, RJ Lino. Terlebih, Isu ini kian cepat merebak pasca Lino 'meminta pertolongan' kepada menteri, menko hingga wapres. Sampai di titik ini, telah nampak secercah bukti betapa kuat dan dominannya cengkraman tentakel politik (kekuasaan) pada penegakan hukum.
Padahal tidak ada yang spesial jika kita mendengar pencopotan jabatan atau yang dikenal dengan mutasi. Mengingat itu lumrah terjadi dalam organisasi yang menganut garis perintah vertikal seperti Polri. Namun ini terasa luar biasa ketika kita cermati dan pahami lebih dalam. Ada yang tidak beres dengan kasus PT Pelindo ini. Ketidakberesan ini sepertinya karena lumuran politik amatlah banyak dalam perkara dwell time tanjung priuk ini.
Buktinya betapa lemahnya pemerintah menghadapi gertakan pengunduran diri dari Dirut PT Pelindo II, RJ Lino sampai-sampai beberapa menteri hingga wapres menanggapi khusus terkait penggeledahan Lino oleh Polri. Padahal, apa yang salah dari penggeledahan dari ruang kantornya? Bukankah tindakan gegabah (menelepon pejabat-pejabat --red) tersebut menunjukkan bahwa ia kadung panik atas penggeledahan yang dilakukan bareksrim?.
Proses hukum mengganggu stabilitas ekonomi (?)
Perusahaan pelat merah indonesia, PT Pelindo II belakangan memang diterpa isu korupsi yang menelan kerugian negara sebesar Rp 45 Milyar. Dugaan korupsi ini berawal dari proses tender mobile crane yang menyalahi prosedur sehingga merugikan negara puluhan milyar rupiah. Kasus ini juga menyangkut persoalan mengenai perpanjangan konsesi JICT. Memang sejak awal, waktu tunggu bongkar muat barang di tanjung priuk (dwell time) sedang disorot tajam oleh berbagai pihak. Bahkan oleh RI 1.
Yang menarik untuk dicermati, dibalik proses hukum yang sedang berlangsung ini ada sebuah pernyataan yang memutar nalar saya dalam-dalam. Pernyataan ini keluar dari mulut RJ Lino pasca ia digeledah oleh bareskrim. Ia memberikan pernyataan bahwa “proses hukum (yang dilakukan bareskrim ini) telah mengganggu stabilitas ekonomi indonesia”. Begitu mendengar pernyataan ini, sontak saya heran bukan kepalang. Bagaimana mungkin proses hukum bisa mengganggu stabilitas ekonomi (?).
Begini, bukankah hal tersebut berbanding terbalik dengan fakta yang ada?. Sepengetahuan dangkal saya dari teori yang ada, telah menyatakan bahwa: faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya instabilitas hukum. Bukan sebaliknya, hukum menjadi penyebab instabilitas ekonomi. Saat krisis moneter tahun 1998 misalnya, krisis tersebut merupakan contoh konkrit betapa ekonomi bisa menimbulkan instabilitas hukum yang luar biasa. Anarki, perkosaan, vandalisme, pembunuhan menjadi hal yang lumrah jika himpitan ekonomi tengah mendera.